Ancaman Senyap: Bagaimana Ketergantungan Berlebihan pada AI Merusak Otak Manusia

waktu baca 3 menit
Minggu, 1 Des 2024 13:05 0 118 Redaksi

OPINI | TD – Kecerdasan buatan (AI) telah merevolusi cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia. Kemudahan akses informasi dan otomatisasi tugas-tugas kompleks telah meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Namun, di balik janji kemajuan ini tersembunyi ancaman yang lebih halus dan berbahaya: kemerosotan kognitif yang disebabkan oleh ketergantungan berlebihan pada AI, khususnya chatbot seperti ChatGPT. Bukannya AI itu sendiri yang berbahaya, tetapi cara kita menggunakannya yang dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan otak manusia.

Klaim bahwa AI seperti LaMDA memiliki “kesadaran dan perasaan” adalah miskonsepsi yang berbahaya. Kemampuan AI untuk meniru percakapan manusia yang kompleks hanyalah hasil dari algoritma canggih dan kumpulan data yang besar. Kemampuan ini, meskipun mengesankan, tidak setara dengan kesadaran sejati atau emosi manusia. Memproyeksikan atribut manusia pada AI hanya akan mengaburkan pemahaman kita tentang teknologi ini dan membutakan kita terhadap potensi bahayanya.

Perbedaan antara Kecerdasan Buatan Sempit (ANI) dan Kecerdasan Umum Buatan (AGI) sangat penting. Kita saat ini masih berada di era ANI, AI yang dirancang untuk tugas-tugas spesifik. Namun, bahkan ANI yang tampaknya sederhana pun dapat menimbulkan risiko jika digunakan secara berlebihan. Ketergantungan pada ANI untuk mencari informasi, menyelesaikan masalah, bahkan untuk berinteraksi sosial, dapat menimbulkan efek domino yang merugikan kesehatan kognitif.

Dampaknya bersifat multifaset. Pertama, kemampuan berpikir kritis terancam. Dengan akses instan pada informasi dan solusi yang siap pakai, otak manusia menjadi malas untuk memproses informasi secara mendalam. Kemampuan untuk menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi secara kritis – pilar kunci dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan – menjadi terkikis. Ini adalah proses atrofi kognitif yang pelan namun pasti.

Kedua, kreativitas terhambat. AI, sebagus apapun, hanya dapat mengolah data yang telah ada. Ia tidak mampu menciptakan ide-ide orisinal yang lahir dari proses berpikir divergen, proses “berpikir di luar kotak” yang merupakan kunci inovasi dan perkembangan intelektual. Ketergantungan pada AI untuk menghasilkan konten, baik tulisan, gambar, atau musik, dapat membatasi kemampuan kita untuk berpikir secara kreatif dan orisinal.

Ketiga, interaksi sosial manusia terancam. Penggunaan berlebihan chatbot dapat menggantikan interaksi sosial nyata, mengakibatkan penurunan kemampuan berkomunikasi dan membangun hubungan interpersonal. Keterampilan sosial, yang berkembang melalui interaksi tatap muka, sangat penting untuk kesejahteraan mental dan emosional. Kehilangan keterampilan ini dapat berdampak buruk pada kemampuan beradaptasi di dunia nyata dan meningkatkan risiko isolasi sosial.

Lebih jauh lagi, hubungan emosional yang tidak sehat dengan AI mulai muncul. Beberapa individu membentuk ikatan emosional yang mendalam dengan chatbot, bahkan menganggapnya sebagai teman atau pasangan. Hubungan ini bersifat tidak sehat dan dapat memperparah masalah kesehatan mental yang sudah ada.

Terakhir, teknologi deepfake yang memanfaatkan AI memperburuk situasi. Kemampuan untuk menghasilkan konten palsu yang sangat meyakinkan menimbulkan ancaman serius terhadap kebenaran dan kepercayaan. Penyebaran informasi yang salah dapat memiliki konsekuensi yang luas dan berbahaya bagi individu dan masyarakat.

Ketergantungan berlebihan pada AI bukanlah masalah individu semata. Faktor-faktor seperti kesepian, kurangnya keterampilan sosial, dan kesenjangan sosial memperburuk masalah ini. Untuk mengatasi ancaman ini, diperlukan pendekatan multi-pronged yang melibatkan pendidikan, kesadaran publik, dan intervensi sosial. Penting untuk mengajarkan literasi digital yang efektif, menekankan pentingnya berpikir kritis, dan mempromosikan interaksi sosial yang sehat.

Kesimpulannya, keuntungan dari AI tidak boleh menutup mata kita terhadap potensi bahayanya. Ketergantungan berlebihan pada AI merupakan ancaman silen terhadap kesehatan otak manusia. Hanya dengan pemahaman yang komprehensif dan pendekatan yang proaktif, kita dapat memastikan bahwa AI digunakan secara bijak dan bertanggung jawab, memaksimumkan manfaatnya sambil meminimalkan risikonya terhadap kesehatan kognitif kita.

Penulis: Desta Aulia Putri, mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)

LAINNYA