OPINI | TD — Dalam beberapa tahun terakhir, provinsi Jawa Timur telah muncul sebagai pusat persaingan yang paling kuat di kancah percaturan nasional. Dominasi mereka tidak hanya terlihat di level junior, tetapi juga menembus kategori terbuka. Para pemain muda Jawa Timur kini telah menjadi standar baru dalam peta kekuatan struktural catur nasional.
Secara historis, DKI Jakarta dan Jawa Barat pernah mendominasi arena nasional, terutama karena keduanya berada di pusat kompetisi dan memiliki dukungan infrastruktur yang lebih mapan. Namun, fakta bahwa para junior Jawa Timur mampu menembus dan bahkan menggeser dominasi lama tersebut bukanlah kebetulan. Ini adalah hasil dari perpaduan antara faktor sistemik, budaya pembinaan alternatif, dan keunikan mentalitas kompetitif yang hanya dimiliki oleh ekosistem Jatim.
5 Rahasia Junior Jawa Timur Mengalahkan Dominasi DKI & Jabar
1. Budaya Kompetitif Rakyat – Berani, Nekat, dan Tidak Takut Kalah
Junior Jatim tumbuh dalam iklim pertandingan yang lebih keras secara mental dibandingkan teknikal. Mereka terbiasa menghadapi lawan unggulan tanpa rasa gentar. Di balik ketidaksempurnaan teknis, muncul keberanian untuk menyerang serta daya tahan dalam menghadapi tekanan dengan semangat: “ora popo kalah, seng penting ngelawan.” Gaya ini melahirkan pola bermain taktis-agresif, bukan pasif-instruktif seperti yang biasa dijumpai pada pemain didikan lembaga formal yang terlalu terikat pada teori.
2. Model Pembinaan Akar Rumput – Fleksibel, Reflektif, dan Tidak Birokratis
Banyak pelatih di Jatim berasal dari kalangan praktisi lapangan yang reflektif, bukan sekadar instruktur bersertifikat. Mereka membentuk karakter pemain berdasarkan intuisi pertandingan, pengalaman langsung, dan jam terbang nyata—bukan hanya silabus teknis. Hasilnya adalah pemain yang berpikir kreatif di papan, bukan hanya menghafal varian pembukaan.
3. Mentalitas Spartan – Terbiasa Merangkak, Terbiasa Melawan
Sebagian besar pemain Jatim tidak berasal dari sekolah unggulan atau didukung sponsor besar. Justru dari keterbatasan inilah muncul mental juara yang tumbuh secara alami. Mereka terbiasa menjadi underdog. Maka saat tampil di pentas nasional, mereka bermain lepas—bebas dari beban reputasi.
4. Kekompakan Internal – Rivalitas Sehat, Loyalitas Tinggi
Junior Jatim menunjukkan kekompakan lintas kota/kabupaten. Dalam banyak kejuaraan, mereka saling mendukung, bertukar analisis, dan membangun ekosistem belajar bersama. Bandingkan dengan DKI yang kadang terjebak dalam rivalitas internal yang kompetitif secara administratif, tetapi terfragmentasi secara emosional.
5. Gaya Bermain “Menggigit” – Kombinatif, Berani, dan Provokatif
Pemain Jatim tidak dididik untuk bermain aman. Mereka dibiasakan untuk mencari celah taktis, memaksa lawan berpikir dalam posisi sulit, dan mengambil risiko dalam posisi tajam. Meskipun tidak selalu akurat, gaya ini sering kali menjungkirbalikkan lawan yang lebih unggul secara teori. Mereka tidak bermain untuk remis, tetapi untuk menang atau kalah dengan terhormat.
DKI dan Jabar menang dalam sistem. Namun, Jawa Timur menang dalam perlawanan.
Dalam dunia catur, kemenangan sistematis pun bisa runtuh oleh kekuatan taktis yang lahir dari mentalitas: Kamu pikir aku takut?
Penulis: Sugeng Prasetyo, Pelatih Catur. (*)