Menulis cerita fiksi ternyata tidak mudah—setidaknya, buatku. Kau tahu, aku ingin sekali bisa menulis cerita fiksi sepertimu. Aku sering kali kagum saat membaca tulisan-tulisanmu dan tulisan para penulis fiksi lainnya, baik yang diterbitkan berupa buku maupun yang diunggah di grup-grup kepenulisan. Banyak kubaca karya dengan jalinan cerita tak terduga dan gaya tutur yang luar biasa.
Sayangnya, aku tak bisa menulis fiksi—mungkin belum bisa. Bukannya aku tak berusaha. Aku sudah mempelajari tulisan-tulisanmu serta tulisan para penulis lainnya. Aku juga berusaha menerapkan apa yang kupelajari dari beberapa buku panduan menulis fiksi yang sempat kubaca. Hasilnya? Selalu saja serupa sampah atau racauan yang tak layak disebut karya fiksi. Terus terang, kondisi itu sering membuatku kecil hati. Kupikir aku memang tidak berbakat jadi penulis.
Namun, kemudian terpikir olehku bahwa itu bisa jadi bukan semata-mata karena kebebalanku. Ketakmampuanku menulis fiksi mungkin ada hubungannya dengan pengalaman yang akan kuceritakan berikut ini. Kuharap kau bersedia membacanya. Kalaupun kau memang tahu aku tak bisa menulis fiksi, setidaknya hargailah upayaku atau senang-senangkanlah aku sesekali. Dan kalau kau nanti merasa ceritaku aneh, memang demikianlah adanya.
Kejadiannya dimulai sekitar setahun yang lalu. Mulanya aku tak tahu mengapa setiap kali membaca tulisan, baik di atas kertas maupun pada layar ponsel, selalu saja tulisan-tulisan itu berubah semakin gelap. Begitu juga setiap kali mengobrol atau mendengarkan pembicara, udara di sekitarku selalu berubah menjadi lebih gelap. Mulanya, kupikir ada yang salah pada mataku, seperti yang pernah kaubilang dulu. Namun, setelah kuamati, ternyata kesalahannya bukan pada mataku, tetapi pada udara di sekitarku yang semakin dipenuhi nyamuk.
Aku tak tahu persis kapan mulainya. Sepertinya, tiba-tiba saja aku makin terganggu oleh populasi nyamuk yang berkembang ratusan kali lebih pesat dibandingkan pertumbuhan populasi manusia. Jumlah nyamuk sepertinya benar-benar meningkat secara eksponensial. Ini sudah tak terkendali, pikirku—sudah melampaui laju reproduksi yang selama ini kukenal. Setahuku, koloni nyamuk bahkan sudah menjangkau wilayah-wilayah yang sebelumnya bebas nyamuk, termasuk wilayah-wilayah yang sebelumnya bukan habitat alami mereka.
Meski tak pasti, kurasa itu menunjukkan bahwa, selain populasinya meningkat pesat, daya tahan mereka terhadap berbagai tumbuhan dan bahan kimia antinyamuk pun meningkat. Bukan hanya itu, rentang hidup mereka juga ternyata menjadi lebih lama. Ini kubuktikan dalam eksperimen di lab kecilku di rumah. Aku menandai nyamuk-nyamuk jantan pada kelompok percobaan yang kuisolasi dalam habitat buatan, lalu kuamati. Ternyata, nyamuk jantan yang sebelumnya hanya mampu bertahan hidup hingga 10 hari dan nyamuk betina yang bisa hidup hingga 42 atau 56 hari sekarang bisa hidup hingga berbulan-bulan—bahkan mungkin ada yang bertahun-tahun. Aku menduga, jangan-jangan, ada beberapa di antaranya yang bisa sintas hingga ribuan tahun! Siapa tahu, kan?
Selain usianya, perbedaan lainnya dengan nyamuk biasa adalah dengungnya. Kalau kau jengkel dengan dengung nyamuk biasa, itu belum seberapa. Dengung nyamuk-nyamuk ini, selain menjengkelkan, juga cenderung membuat orang tak sadarkan diri. Entahlah. Mungkin frekuensi getaran sayap mereka berada pada rentang tertentu yang bias memengaruhi kerja otak manusia. Cuma dugaanku, sih, karena khusus soal dengungnya ini aku belum mempelajarinya dan belum pernah membaca hasil penelitiannya.
Dari eksperimen itulah aku menduga bahwa selama ini ada spesies nyamuk tertentu yang luput dari penelitian para ahli serangga. Ya, kau menyebutnya entomolog. Berbeda dari nyamuk-nyamuk yang dikenal selama ini, menurut hasil penelitian sekelompok ilmuwan di Graduate School of Life Sciences (University of Cambridge) yang kubaca beberapa waktu sebelumnya, nyamuk-nyamuk yang mampu bertahan hidup lama itu ternyata tak memiliki kelamin. Ya, kau tak salah membaca: mereka tak punya kelamin. Mereka aseksual. Akan tetapi, mereka juga bukan hermafrodit. Itu berarti mereka memang tak membutuhkan alat kelamin untuk reproduksi dan berkembang biak.
Menurut para ilmuwan itu, karena itulah mereka tak memiliki siklus hidup sebagaimana nyamuk-nyamuk lainnya. Kau tahu, nyamuk umumnya bermetamorfosis dari telur menjadi larva, lalu pupa, lalu dewasa. Nyamuk jenis baru ini tidak begitu. Mereka tidak memiliki siklus hidup, hanya rentang hidup—yang memang jauh lebih lama dibandingkan spesies nyamuk lainnya. Dalam rentang hidup itu, tampaknya mereka juga tak mengenal masa berkawin. Jadi, mereka muncul secara tiba-tiba sebagai nyamuk dewasa, menyebar bencana bagi manusia, lalu surut dan mati tua. Begitulah yang kubaca.
***
Sebagaimana proses alam lainnya, pertumbuhan populasi nyamuk yang demikian pesat itu kuduga tidak terjadi secara mendadak. Aku malah yakin, prosesnya telah berlangsung selama ribuan tahun dengan laju perubahan yang tak kentara karena memang tidak signifikan. Hanya setelah laju perubahannya signifikanlah mereka menarik perhatian orang-orang.
Karena itu, begitu mengetahui laju populasi nyamuk yang mencengangkan itu, para penduduk kotaku hanya bisa terheran-heran—terutama mereka yang merasa telah menjaga kebersihan lingkungannya. Mereka merasa, semuanya sudah dibuat bersih dari kemungkinan timbulnya sarang nyamuk: rumah, aula, gedung, hotel, istana, dan vila mereka bersih, terawat, tertutup rapat, dan kering. Pokoknya, tak ada sudut lembap bau apak atau tergenang air yang memungkinkan bersembunyinya jentik nyamuk.
Jelas, orang-orang tak tahu bahwa sebagian besar nyamuk yang bergerombol menghitamkan langit itu adalah spesies unik—yang selama ini dianggap sama saja dengan spesies lainnya. Mereka juga tak tahu bahwa tempat persemayaman telur spesies nyamuk ini bukanlah tempat-tempat lembap atau tergenang air, melainkan liur di mulut mereka sendiri.
Kau pun tak tahu, kan? Ya. Faktanya, setiap kata yang kau dan teman bicaramu ucapkan itulah yang menciptakan nyamuk-nyamuk di sekitarmu. Pasti kau tak pernah menduganya.
Nah. Biar kuberi tahu kau sekarang. Jadi, begini: setiap kata yang kauucapkan itu sebenarnya tak pernah menguap lalu menghilang begitu saja dalam udara karena—dalam hitungan detik—mereka mewujud menjadi makhluk-makhluk kecil yang menjengkelkan, bahkan mematikan itu.
Kau tahu, dalam setahun spesies-spesies nyamuk tertentu ada yang bisa merenggut hingga 700.000 nyawa manusia! Ini jelas jauh lebih banyak daripada kematian yang disebabkan hewan lainnya yang mana pun—selain yang disebabkan manusia, tentunya.
Ya. Baru beberapa waktu belakangan ini para ahli mengetahui bahwa nyamuk-nyamuk itu menjelma dari kata-kata yang diucapkan manusia. Mereka bilang, telur nyamuk kata mendapatkan katalis dari energi gelombang suara untuk berubah menjadi nyamuk dewasa.
Mereka juga bilang prosesnya memang sangat cepat. Ketika kau mulai menarik napas atau bersiap menggerakkan lidahmu untuk berbicara, gerakan otot rahangmu mengubah satu telur nyamuk yang sudah bersarang di air liurmu menjadi larva; ketika pita suaramu bergetar melafalkan sebuah kata, ia pun berubah menjadi pupa; dan tepat ketika kau selesai melafalkan sebuah kata, seekor anak nyamuk akan merobek pupanya, lalu terbang dan menjadi nyamuk dewasa. Secepat itu prosesnya.
Kau juga pasti tak pernah melihat proses transformasi itu, kan? Sebenarnya, mudah saja mengamatinya. Seorang pakar entomogenetika menjelaskan caranya. Begini: setiap kali kau mengucapkan sebuah kata, jangan kedipkan matamu dan jangan palingkan wajahmu. Buka matamu, tahan seperti itu, dan perhatikan baik-baik. Perhatikan terutama bagian-bagian terluar area pandanganmu. Biasanya, kata-kata berubah wujud menjadi nyamuk memang tak persis di tentang pandanganmu. Sering kali, ia hanya bisa terlihat di sudut matamu—bagian yang justru sering kali kau abaikan.
O, ya, kau juga sulit melihat prosesnya jika berada di tempat dengan pencahayaan ekstrem, baik terlalu terang maupun terlalu gelap. Namun, ketahuilah bahwa mereka terus tercipta dari setiap kata yang kauucapkan—di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun. Mereka akan terus mengerumunimu begitu kau selesai berkata-kata. Mereka juga akan menguntit ke mana pun kau pergi, bahkan ketika kau berak atau bersetubuh. Jumlahnya tentu saja ribuan, jutaan, atau miliaran, tergantung pada seberapa banyak kata yang kauucapkan.
Nah. Tentu karena tak mengetahui proses terciptanya, selama ini kau menganggap mereka hanya nyamuk-nyamuk biasa: makhluk yang lahir dari telur-telur renik di tempat-tempat yang agak lembap dan menetas ketika udara panas. Kau tak pernah menyadari bahwa habitat pembiakan mereka yang paling alami justru liurmu sendiri—bahkan mereka sebenarnya dihidupi lendir berbau bacin yang mengalir dari benak dan tulang punggungmu, lalu tersimpan di rongga mulutmu itu. Itulah sebenarnya sumber kehidupan mereka yang pertama. Sebagai telur, mereka berdiam di sana, menanti gilirannya tercipta menjadi nyamuk dewasa lewat kata-kata yang kauucapkan—lengkap dengan segala sifat, kecerdasan, atau kebebalanmu.
***
Dalam jurnal-jurnal ilmiah juga kubaca bahwa, meskipun nyamuk-nyamuk kata ini secara morfologis persis sama dengan spesies-spesies lainnya dalam genus Aedes, ada markah mitokondria dalam rangkaian DNA-nya yang membuatnya berbeda. Karena itu, para ahli taksonomi genetika yakin telah menemukan sebuah spesies baru. Mereka membaptisnya dengan nama Aedes verbis. Kata aedes konon dari bahasa Yunani yang berarti ‘tidak menyenangkan’ atau ‘menjijikkan’. Ini genus mereka. Verbis itu katanya dari bahasa Latin yang artinya ‘kata-kata’. Itu spesifikasi spesiesnya. Jadi, nama Aedes verbis itu kira-kira berarti ‘kata-kata yang menjijikkan’.
Katanya, jenis betina spesies dalam famili Culicidae—familinya genus Aedes—mencucuk kulit manusia untuk mengisap darah. Perhatikan, hanya jenis betinanya. Artinya, jenis jantannya tidak. Jantannya mencukupkan diri dengan mengonsumsi madu dan jus buah, sedangkan betinanya memang memerlukan protein dalam darah manusia untuk menghidupi janin-janin dalam telurnya. Jadi, setiap kali kau akan menepuk seekor nyamuk yang “menggigit”-mu, ingatlah berapa bayi nyamuk yang akan menjadi piatu dan kelaparan.
Karena spesies verbis itu aseksual—tak ada jantan dan betina—semua nyamuk verbis mencucuk kulit manusia. Bedanya, jika spesies-spesies lain mencucuk kulit manusia untuk mengisap darah, spesies verbis justru menyuntikkan sesuatu ke dalam darah manusia, yaitu virus lupa. Karena itu, ada juga sebagian taksonom yang menyebutnya Aedes obliscorus: nyamuk Aedes yang menyebabkan lupa.
Dalam artikel yang kubaca disebutkan nyamuk-nyamuk verbis ini memiliki berbagai subspesies—dikenal sebagai varian—tetapi semuanya hanya menyebarkan satu jenis wabah: virus lupa. Perbedaan di antara varian-varian itu adalah keunikan virus lupa masing-masing. Verbis jenis Alpha, misalnya, hanya akan membuatmu lupa pada apa yang pernah kauucapkan beberapa hari sebelumnya; verbis jenis Gamma akan membuatmu lupa kata-kata yang kauucapkan sejam sebelumnya; sedangkan verbis jenis Kappa akan membuatmu lupa kata-kata yang baru saja kauucapkan.
Konon, yang paling berbahaya itu verbis jenis Omega. Varian ini akan membuatmu lupa pada makna kata yang sedang kauucapkan atau membuatmu berpura-pura lupa sesudahnya. Virus verbis jenis ini memutuskan koneksi sinaps otakmu dengan realitas kata, tepat ketika dia berubah menjadi larva—yaitu, tepat ketika kau menghela napas untuk mengucapkan sebuah kata. Nah, jenis inilah rupanya yang sering disebut manusia ketika dia diingatkan tentang sesuatu yang dia berpura-pura lupa. Biasanya, mereka akan mengucapkan, “Oh, my Ga!” sambil menepuk dahinya. Ungkapan itu terkadang disingkat menjadi OMG!
Nyamuk-nyamuk verbis jenis Omega ternyata paling banyak menjelma dari kata-kata yang disemburkan para pemimpin—baik pemimpin agama, bisnis, sosial, maupun pemerintahan; baik pemimpin formal maupun informal. Nyamuk-nyamuk verbis Omega yang tercipta dari fanatisme dan fundamentalisme agama dan politikus bahkan akan menduduki suatu wilayah tertentu dan menghalau nyamuk-nyamuk lokal. Karena terlahir dari mulut-mulut yang dianggap suci atau berkuasa, nyamuk-nyamuk itu sering dianggap lebih tinggi derajatnya daripada nyamuk-nyamuk lainnya. Bahkan, ada sebagian nyamuk verbis yang mengklaim bahwa mereka adalah keturunan nyamuk verbis Alpha yang sintas hingga ribuan tahun itu—demi mendapatkan penghormatan atau dianggap suci.
Mulanya, nyamuk-nyamuk verbis hanya menyuntikkan virus kepada pendengar kata-kata. Namun, ribuan tahun evolusi telah mengubah perilaku mereka. Sekarang mereka tak pilih-pilih: mereka serang juga tuan yang kata-katanya telah menciptakan mereka. Sebagian ahli menyebut gejala ini “vermatusis”—yang dalam ungkapan sehari-hari disebut “verbis makan tuan”.
Namun, para ahli menduga itu semacam naluri balas dendam. Nyamuk-nyamuk itu merasa telah diciptakan tanpa tanggung jawab karena orang telah berbicara tanpa memedulikan akibat ucapannya.
***
Masih menurut artikel yang kubaca, masa paling kondusif bagi perkembangbiakan nyamuk verbis adalah saat demikian banyak kata diumbar, seperti saat diadakannya rapat-rapat dewan, pemilihan-pemilihan pejabat pemerintah—baik regional maupun nasional—kongres-kongres politik, pertemuan-pertemuan bisnis, pidato-pidato, khotbah-khotbah, seminar-seminar, ceramah-ceramah, obrolan-obrolan persekongkolan, tawar-menawar jabatan, atau kasak-kusuk memperebutkan fasilitas negara. Itulah sebabnya langit selalu menjadi lebih gelap selama dan seusai kegiatan-kegiatan seperti itu. Wajar saja, matahari pun tertutup oleh jutaan nyamuk yang tercipta.
Tentu saja, tempat dengan natalitas verbis tertinggi adalah wilayah-wilayah yang lembap hingga basah, mulai dewan-dewan negara, departemen-departemen pemerintahan, hingga lembaga-lembaga pendidikan.
Stok telur nyamuk menjelang diselenggarakannya kegiatan-kegiatan seperti di atas memang meningkat tajam. Karena itu, dalam waktu beberapa jam yang melibatkan banyak orang itu memang akan muncul sekian juta nyamuk dewasa yang berebutan keluar dari mulut manusia. Sebagiannya terlontar membentur langit-langit, lalu dengan agak oleng melesat ke luar ruangan, lalu terbang ke angkasa. Pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan di luar ruangan, nyamuk-nyamuk yang diciptakan terkadang membentur tenda atau tiangnya, bendera, umbul-umbul, spanduk, atau baliho sebelum berhasil meluncur ke angkasa menghitamkan langit.
Saat yang kurang produktif adalah setiap lewat tengah malam hingga menjelang subuh: hanya satu atau dua jam ketika sebagian besar produsennya tertidur lelap. Pada saat itulah nyamuk-nyamuk yang ada akan menyingkir ke bagian terjauh lingkungan manusia demi menyediakan ruang bagi generasi nyamuk yang akan tercipta berikutnya. Begitu manusia terbangun, biasanya nyamuk-nyamuk segera tercipta.
Hasil penelitian terbaru para ilmuwan yang mempelajari fenomena Aedes verbis adalah bahwa nyamuk-nyamuk itu ternyata tak pernah tercipta dari ocehan balita, orang gila, atau dengkuran dan igauan. Setelah melakukan penelitian selama hampir satu tahun, Dr. Masayoshi Ueno dan Dr. Musashi Kendo—dua orang ilmuwan dari Departemen Biologi Universitas Waseda, Jepang—menyimpulkan bahwa sebenarnya bukan lendir manusia atau bunyi yang dikeluarkan dari mulutnya yang menciptakan nyamuk-nyamuk itu. Berdasarkan hasil penelitiannya, mereka menduga bahwa energi kreatif yang menciptakan nyamuk-nyamuk itu adalah “kesadaran”. Tetapi, kesadaran yang seperti apa, mereka sendiri tak dapat mendeskripsikan atau mendefinisikannya dengan pasti.
Hal menarik lainnya yang ditemukan Ueno dan Kendo adalah bahwa telur nyamuk verbis ternyata bukan hanya terdapat dalam lendir manusia, melainkan juga dalam berbagai media yang memungkinkan terjadinya kata, termasuk segala hal yang bisa merepresentasikan kata, seperti huruf.
***
Fisiologi manusia sendiri membuat mereka tak hanya mampu memproduksi nyamuk verbis melalui kata-kata yang mereka ucapkan. Gelombang “kesadaran” di benak mereka ternyata tidak terkonsentrasi di dalam otak atau jantung, tetapi menyebar ke seluruh tubuh mengikuti aliran darah dan cairan lainnya yang dihasilkan tubuh. Akibatnya, timbunan telur nyamuk verbis tak hanya tersimpan dalam liur di rongga mulut, melainkan meresap hingga keringat di sela-sela jari.
Dari keringat di sela-sela jari itu telur-telur nyamuk bersiap menjadi larva, lalu menjelma menjadi nyamuk dewasa berbarengan dengan selesainya sebuah kata ditulis atau ditik. Nah, sekarang mungkin kau paham kenapa kertas atau layar yang kautulis atau kautik selalu tampak lebih hitam daripada sebelumnya. Ya, itu karena pada saat kau menulis atau membaca pun, kata-kata bertransformasi menjadi nyamuk.
Barang tentu, kau segera menduga bahwa omonganku di atas akan mengarah kepada bahasan keterkaitannya dengan kemajuan teknologi komunikasi. Kau benar. Teknologi yang dikembangkan manusia juga telah memungkinkan produksi sekian juta nyamuk verbis dalam satu detik secara serentak di seluruh penjuru dunia. Terlebih lagi, dengan maraknya media sosial melalui internet, produksi nyamuk verbis menjadi demikian masif. Itu memang sudah diprediksi sebagai konsekuensi lanjutan dari hasil temuan Ueno dan Kendo.
Selain laju produksi verbisnya, penyebaran virusnya juga menjadi sangat fantastis berkat bantuan berbagai media sosial. Karena itu, selama lima bulan terakhir, wabah FFR (Forget-Forget Remember) menjadi pandemi yang resistan di seluruh dunia.
Parahnya, nyamuk verbis dari tulisan bisa tercipta berkali-kali. Pertama kali dituliskan, kata-kata sudah menciptakan nyamuk verbis generasi pertama. Selanjutnya, setiap kali dibaca, tercipta lagi generasi-generasi nyamuk verbis berikutnya. Itu terjadi setiap kali kata berbentuk tulisan dibaca. Jadi, nyamuk verbis yang tercipta dari tulisan bisa jadi jauh lebih banyak daripada yang tercipta dari ucapan.
***
Perihal kekebalan mereka terhadap segala macam insektisida sudah kubuktikan sendiri. Orang yang menggunakan calir penangkal nyamuk (mosquito repellent lotion) ternyata tetap dicucuk. Penyemprot serangga domestik tak lagi mempan mengusir atau membunuh jentiknya. Bahkan, pengabutan lingkungan juga tak pernah membuat jumlah mereka berkurang.
Rumah-rumah yang sengaja menanam tumbuh-tumbuhan sejenis marigold, ageratum, atau geranium yang aromanya dikenal mampu menangkal nyamuk pun tetap saja dipenuhi nyamuk. Pasalnya, nyamuk-nyamuk itu, toh, memang diproduksi di dalam rumah. Setiap kali ada orang yang terlibat pembicaraan, terciptalah nyamuk-nyamuk. Itu terjadi di bagian rumah mana pun.
Masalah yang sama terjadi juga di berbagai fasilitas publik dan komersial, seperti taman-taman kota, restoran-restoran, kafe-kafe, dan berbagai angkringan. Fasilitas publik yang paling sedikit menghasilkan nyamuk ternyata adalah bioskop dan perpustakaan. Di bioskop, orang cenderung tak berbicara ketika menonton. Nyamuk yang dihasilkan dari dialog dalam film biasanya berjenis jinak karena merupakan jenis reproduksi subfilial tingkat dua. Di perpustakaan, biasanya orang menahan diri dari mengobrol, demi ketenangan membaca. Selain itu, perpustakaan memang selalu sepi pengunjung. Kalaupun ada pengunjung, jumlah kata yang mereka baca dari buku ternyata sangat minim sehingga nyamuk verbis yang tercipta pun hanya sedikit.
***
Lalu, apa yang terjadi jika sebuah wilayah sudah terlalu padat oleh nyamuk-nyamuk verbis sehingga menutupi sinar matahari? Mereka akan menyebar ke berbagai penjuru untuk mencari wilayah yang agak renggang, seperti beberapa bagian Afrika, Alaska, Kutub Utara, Kutub Selatan, atau wilayah-wilayah lain dengan populasi rendah. Di sana, mereka bergabung dengan nyamuk-nyamuk verbis lokal yang diciptakan di sana dan membentuk koloni-koloni baru.
Selain menyebar secara alami, ada juga para pengusaha yang melihat peluang bisnis. Mereka menyediakan jasa penggiringan nyamuk verbis ke wilayah tertentu. Mereka bahkan melayani ekspor nyamuk verbis ke bagian dunia lainnya, khususnya ke negara-negara Dunia Ketiga atau negara-negara yang rendah resistansi politisnya, seperti Indonesia. Tentunya, sedapat mungkin, penggiringan itu dilakukan secara ilegal, tanpa sepengetahuan penguasa negara yang dituju. Sedikitnya, lima perusahaan pengekspor sempat menimbulkan konflik bilateral yang alot antara negara asal dan negara tujuan ekspor nyamuk. Hampir di seluruh negara di dunia, nyamuk-nyamuk verbis memang sudah menjadi masalah nasional.
Di Indonesia, seperti juga di negara-negara lainnya, nyamuk-nyamuk verbis mancanegara tersebut saling berkolusi dengan varian lokalnya—kalau ada. Kalau tak ada, mereka membentuk koloni varian baru. Sebagiannya melakukan perkawinan silang sehingga tercipta varian-varian yang sangat canggih, seperti Gamma T2, Delta-Kappa-Kappa, atau Omega-X. Yang terakhir ini, dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi varian yang paling maut. Omega-X adalah hasil kawin-silang varian verbis dari kata-kata para agamawan impor dan politikus lokal.
Sekali waktu, ada usulan kepada WHO untuk membuat sebuah badan khusus untuk menangani wabah nyamuk verbis yang telah mengglobal ini. Namun, badan tersebut tak kunjung terbentuk karena para penggagasnya sendiri sudah terburu lupa, terjangkiti virus nyamuk kata-katanya sendiri. Demikian juga para kepala negara di seluruh dunia dan para menterinya, termasuk Indonesia.
Parahnya, banyak kepala negara yang tetap tidak ngeh bahwa sedang berjangkit pandemi yang merongrong kemanusiaan dan terus saja dengan asyiknya memproduksi jutaan nyamuk verbis setiap hari. Ini tentu mengundang protes dari berbagai pihak yang menyadari bahayanya. Namun, karena berbagai hukum regional dan internasional memang menghormati kedaulatan masing-masing negara, para pemrotes itu pun tak bisa berbuat banyak.
Kapitalisme dunia penerbitan juga melihat peluang bisnis dalam kondisi itu. Karena itu, terbitlah buku-buku panduan untuk mengendalikan terciptanya nyamuk. Judul-judul yang sempat menjadi best seller di seluruh dunia termasuk, The Sure Way to Prevent Verbis Growth (‘Cara Ampuh Mencegah Berkembangnya Verbis’), A Guide to Growing Healthy Alphas (‘Panduan Mengembangbiakkan Verbis-verbis Alpha yang Sehat’), Verbis Made Easy (‘Cara Gampang Memahami Verbis’), dan The Future of Man: Between Alphas and Omegas (‘Masa Depan Manusia: Antara Verbis Alpha dan Omega’).
Anehnya, berbagai panduan, anjuran, dan tips yang termuat dalam buku-buku tersebut tak satu pun yang tepat guna. Sebagiannya justru memicu manusia untuk semakin sering menceracau menciptakan nyamuk-nyamuk. Yang lebih aneh, tak ada orang yang mengenal para penulis buku-buku itu. Mereka ujug-ujug saja muncul, entah dari mana, memenuhi daftar terbitan para penerbit. Sialnya, bahkan para penerbit mengaku kesulitan mencari siapa penulisnya dan tak tahu ke mana harus mentransfer royaltinya.
Setelah berjalan beberapa lama dan identitas mereka tak kunjung diketahui, orang pun menduga para penulis itu adalah nyamuk-nyamuk verbis yang sudah bertransformasi menjadi manusia.
***
Nah, kau perhatikan tidak? Beberapa menit tadi, teks yang kau baca ini pun terlihat menjadi makin gelap, bukan? Ya, itu karena ketika kau membaca, ribuan nyamuk tercipta dari kata-kata yang kau baca dalam racauanku ini. Sebagian di antaranya mungkin akan bergabung dengan koloni mereka di luar sana, lalu menulis buku-buku panduan yang menyesatkan dengan judul-judul yang bombastis.
Mungkin kau juga maklum sekarang. Seperti kubilang di awal tadi, bukan semata-mata karena kebebalanku bahwa aku tak bisa menulis fiksi.
*****