OPINI | TD — Krisis iklim dan rangkaian bencana ekologis yang terjadi di seluruh bangsa harusnya sudah menjadi perhatian serius bagi para Capres dan Cawapres dalam konteks pemenuhan keamanan manusia. Terutama dalam pembahasan debat ketiga capres dengan tema “Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional dan Geopolitik” yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 07 Januari 2024 kemarin.
Namun isu ini masih didominasi oleh wacana keamanan tradisional, yakni negara dan militer. Dimana dalam pendekatan ini, negara menjadi subjek dan objek keamanan nasional.
Dalam perkembangannya isu-isu keamanan strategis juga mengalami perkembangan, termasuk juga kompleksitas isu keamanan seperti demokratisasi, penegakan HAM, dan lain sebagainya. Termasuk juga pemenuhan terhadap hak atas lingkungan hidup.
Dalam konsepsi ini keamanan manusia lebih jauh melihat pada jaminan kesejahteraan sosial, perlindungan hak kelompok masyarakat, kelompok minoritas, jaminan setiap individu warga negara atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat, dan lain sebagainya.
Tentunya saat ini kita sudah banyak mengetahui bahwa krisis lingkungan hidup juga tidak terlepas dari krisis kesenjangan terhadap pemenuhan hak asasi manusia. Bahwa menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi. Namun perhatian negara belum cukup mampu melihat isu ini lebih jauh sebagai sumber kehidupan.
Ketakutan banyak orang terhadap gambaran masa depan yang dipenuhi ancaman krisis lingkungan hidup, seperti polusi udara, pencemaran air dan tanah, land subsidence, banjir, longsor, kebakaran hutan dan gambut, tenggelamnya pesisir dan pulau kecil, serta krisis iklim belum dijawab secara serius.
Semakin negara menunjukkan senjata sebagai powernya, maka dia sedang menunjukkan betapa lemahnya dalam hal menjalankan fungsi untuk mencapai kesejahteraan umum. Karena isu keamanan hanya berorientasi elite kekuasaan, yang dimaksud adalah pemaksaan pada kebijakan, politik di kekuasaan, dan pikiran-pikiran elite kekuasaan tersebut. Maka keinginan mengamankan kedaulatan negara ditandai (orientasi) dengan membeli persenjataan, keinginan untuk menjalankan fungsi legislasi di DPR ditandai dengan memewahkan fasilitas kantor dan memperkuat pengamanan anggota dewan, keinginan untuk memperkuat ekonomi ditandai dengan pengamanan konsesi korporasi melalui pengerahan aparat.
Kondisi ini bisa kita lihat bahwa negara belum cukup bekerja untuk memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Karena pendekatan keamanan yang digunakan tersebut justru membangun jarak dengan rakyat. Model tersebut sudahlah usang, bahkan lebih parah dengan berwatak mirip kolonialisme, juga menjadi seolah-olah paling tahu bagaimana menyejahterakan rakyat, tanpa bertanya pada rakyat yang ingin disejahterakan.
Lemahnya peran negara ini juga disebabkan oleh negara itu sendiri, yang tidak mampu mengelola sumber daya alam secara berdaulat. Dalam konteks situasi geopolitik keamanan cenderung adalah melulu terkait militerisme, sementara perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat yang secara nyata langsung terkesan tutup mata.
Ironisnya pengelolaan sumber daya alam dalam pemenuhannya lebih banyak bercorak bisnis bahkan menyerahkannya ke sistem pasar.
Krisis air bersih dan kekeringan yang terjadi di banyak wilayah kemudian dijawab dengan dagang air bersih. Bisa dilihat Data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 39,5% rumah tangga di Indonesia menjadikan AMDK sebagai sumber air utama untuk minum pada 2022, dan angka ini mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.
Kondisi ini jelas menggambarkan abainya negara terhadap keamanan manusia khusunya keamanan pangan, dan sama halnya dengan upaya negara melakukan penolakan terhadap hak asasi manusia.
Undang-Undang Dasar 1945 memandatkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” maka negara seharusnya mengutamakan kepentingan setiap orang sebagai pemenuhan keamanan manusia. Bukan sebaliknya, negara malah melakukan kriminalisasi terhadap orang-orang yang sedang memperjuangkan wilayah dan sumber-sumber kehidupannya dari ancaman perusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan data dan analisis Laporan Khusus Keamanan Manusia, UNDP 2022, mengemukakan bahwa rasa keselamatan dan keamanan masyarakat berada pada titik rendah di hampir setiap negara, termasuk negara-negara terkaya. Fakta ini semakin memperkuat akan ironisnya pembangunan yang seharusnya bertujuan untuk menyejahterakan, tetapi justru banyak negara gagal dalam memberikan rasa aman melalui pembangunan.
Negara seharusnya mulai menyentuh dimensi keamanan yang lebih luas, dan mengambil peran yang jelas dan serius. Keamanan manusia bukanlah bisnis dan dagangan, seperti proyek Food Estate di Kalimantan Tengah yang mengonversi lahan gambut menjadi pertanian sekala besar. Dengan dalih swasembada dan keamanan pangan, proyek yang dikomandoi oleh menteri pertahanan justru menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat lokal.
Model pendekatan ini tentunya sangat jauh dari konsep comprehensive security yang menekankan pentingnya keamanan secara luas, yakni menjamin dan memenuhi kesejahteraan manusia. Dimana kesejahteraan itu terdiri dari aman, sentosa, dan makmur. Keamanan pangan memang telah menjadi dimensi keamanan manusia, namun dengan pendekatan proyek food estate yang agresif ini justru menurunkan kualitas lingkungan yang merupakan sumber kehidupan.
Dengan berorientasi pada keamanan manusia secara utuh dan berkeadilan ekologi, maka jalan kedaulatan negara terhadap Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional dan Geopolitik akan menuju pada kesejahteraan rakyat secara lahir dan batin. Karena keempat isu tersebut saling berkelindan dan secara langsung mempengaruhi kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat.
Penulis : ,
Pegiat Lingkungan Hidup dan Aktivis Walhi. (Red)