Menjadi Ayah —Cerpen Akhir Pekan TangerangDaily

waktu baca 5 menit
Minggu, 2 Jan 2022 11:17 0 53 Redaksi TD

CERPEN | TD — Akhirnya, ia mengakhiri masa lajangnya di usia 38 tahun. Ia menikahi seorang wanita berusia 45 tahun yang telah lama ditinggal mati suaminya tanpa seorang anak pun. Ia menikahi sang janda atas kehendaknya sendiri, demi kehidupan rumah tangga yang telah lama ia cita-citakan.

Orang-orang tentu mempertanyakan keputusannya. Bagaimanapun, ia masih punya kemampuan untuk mendapatkan seorang gadis atau seorang perempuan yang lebih muda. Ia masih punya peluang untuk membangun keluarga demi melanjutkan keturunan. Tetapi nyatanya, ia teguh menikahi sang janda tua yang tampak tidak akan bisa lagi membuahkan anak.

Namun ia memang punya pandangan yang berbeda perihal pernikahan. Menurutnya, menikah dengan seorang janda yang sudah cukup tua untuk menjadi seorang ibu, bukanlah pilihan yang salah dan tercela. Baginya, yang terpenting adalah hidup bahagia dengan sang istri, meski tanpa kehadiran seorang anak pun. Cukup demikian.

Aku ingin menikahimu, tuturnya kepada sang janda, pada satu hari setahun yang lalu, kala mereka tengah melepas penat di sebuah balai peristirahatan sebagai sesama pekerja perkebunan kelapa sawit.

Sang janda sontak terheran. “Kenapa kau ingin menikah dengan perempuan sepertiku?”

Ia lantas melayangkan senyuman yang canggung. “Ya, karena aku mencintaimu. Aku merasa akan hidup bahagia jika bersamamu.”

Seolah tak habis pikir, sang janda pun menggeleng-geleng. “Apa kau tidak sadar kalau aku sudah sangat tua. Bahkan aku mungkin tak akan bisa lagi mengandung anak untukmu,” balasnya, mengeluhkan keadaannya sendiri.

Ia malah tergelak pendek. “Aku tak memusingkan soal itu. Aku tak peduli. Yang pasti, aku hanya ingin kita menikah dan hidup bersama sepanjang waktu.”

Akhirnya, sang janda terharu bahagia atas penerimaannya yang tak bersyarat.

Tak cukup sebulan setelah pernyataan perasaannya itu, mereka kemudian menikah tanpa banyak embel-embel.

Di samping kesediaannya untuk menikah tanpa mempermasalahkan perihal ketidakmungkinan memiliki anak, ia memang menghendaki pernikahan yang sederhana. Ia ingin menikah dengan pesta seadanya supaya tidak memberatkan keuangannya sendiri. Karena itu pula, ia memilih menikahi seorang janda ketimbang menikahi seorang gadis yang menuntut ongkos besar.

Cita-citanya untuk menikah secara sederhana, memang lahir dari pengalaman hidupnya. Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Ayah dan ibunya cuma petani dengan lahan yang sempit. Karena itu, orang tuanya jadi tak berdaya untuk memenuhi segenap keinginannya, hingga ia terpaksa membiasakan diri dengan kehidupan yang bersahaja.

Tetapi sebagai anak tunggal yang dimanja, dahulu, saat masih kanak-kanak, ia terus saja melontarkan permintaan kepada orang tuanya. Ia menuntut kehidupan sebagaimana anak-anak sepantarannya yang notabene berasal dari keluarga yang lebih berada. Ia senantiasa mendesak dibelikan segala macam alat permainan yang senilai dengan kepunyaan teman-temannya.

Seiring waktu, permintaannya terus berkembang. Di bangku SD, ia menuntut sepeda dan perangkat gim; di bangku SMP ia menuntut sepeda motor dan ponsel pintar; di bangku SMA ia menuntut sepeda motor baru yang lebih megah dan ponsel baru yang lebih canggih. Dan untuk semua itu, orang tuanya pun memenuhi dengan perjuangan yang keras.

Setelah ia lulus SMA dan beranjak ke kota untuk berkuliah, permintaannya pun makin menjadi-jadi. Setiap waktu, ia mendesak untuk dikirimi uang dengan alasan untuk keperluan belajar. Padahal, uang tersebut malah ia habiskan untuk berfoya-foya dan memanjakan kekasih-kekasihnya, entah di restoran mewah, pusat perbelanjaan, ataupun kelab malam.

Sampai akhirnya, di awal tahun kedua kuliahnya, ia mendapatkan kabar buruk yang memilukan. Ayahnya tertangkap basah sedang menggarong laci kasir sebuah toko. Sang ayah lantas diserahkan kapada pihak kepolisian setelah dihajar massa. Dan setelah proses hukum berjalan sekian lama, sang ayah pun dijebloskan ke dalam penjara selama lima tahun.

Mirisnya, saat itu, ibunya makin didera beragam penyakit. Itu karena sang ibu begitu terbebani menanggung akibat dari kenyataan sang ayah. Sang ibu jadi kepayahan mengurus sepetak lahan pertanian mereka, hingga menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hingga akhirnya, sang ibu meninggal saat sang ayah masih di dalam penjara.

Di tengah keadaan itu, ia terpaksa menghentikan segala macam laku liarnya. Ia bahkan berhenti kuliah di tahun ketiga karena ketiadaan biaya. Perlahan kemudian, ia mulai menginsafi dosa-dosanya. Ia merasa telah mengkhianati kasih sayang dan kepercayaan ayah-ibunya. Ia merasa telah menjadi seorang anak yang durhaka. Ia menyesal dan terus menyalahkan dirinya sendiri.

Hingga akhirnya, dengan pertobatan yang mendalam di tengah bekal hidup yang makin menipis, ia pergi merantau dan menetap di pulau seberang. Ia bermaksud membuang dirinya jauh-jauh dari ruang dosa-dosanya terhadap kedua orang tuanya. Ia terus bertahan sebagai sopir angkutan sebuah perusahaan kelapa sawit, hingga ia bertemu dan menikah dengan sang janda.

Tetapi rasa bersalah terhadap orang tuanya pula yang membuatnya bertekad menikahi sang janda tua. Ia begitu membenci dirinya, hingga ia tidak ingin memiliki seorang anak pun. Ia merasa tak akan sanggup menerima kenyataan dan menanggung beban kalau-kalau kelak ia memiliki seorang anak yang sedurhaka dirinya di masa dahulu.

Akhirnya, ia merasa tenang menjalani kehidupan rumah tangga seperti yang ia cita-citakan. Ia dan sang istri bisa saling mengisi, sehingga mereka seolah tak kekurangan apa pun. Setiap waktu, mereka terus saja berbagi kesenangan.

Dan siang ini, ketika ia sedang menikmati secangkir kopi di teras depan rumah sembari merenungi jalan hidupnya, sang istri lalu datang dari pasar dan menghampirinya dengan wajah semringah. “Pak, aku ada kabar gembira,” kata sang istri.

Ia pun bertanya-tanya. “Kabar apa?”

Sang istri lantas tersenyum lebar. “Tadi, aku periksa ke dokter,” katanya, lalu menjeda.

“Memangnya, Ibu sakit apa?” tanyanya, penasaran.

Sang istri lekas menggeleng-geleng, kemudian menggenggam tangan sang suami. “Aku tidak sakit, Sayang. Kan sakit itu bukan kabar gembira.”

“Terus kabar gembira apa yang ibu maksud? selisiknya, mendesak.

Dengan raut berseri-seri, sang istri pun bertutur, “Aku hamil, Sayang.”

Seketika, ia tersedak tegukan kopinya sendiri.*

——

Tentang Penulis :
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).

LAINNYA