Warisan – Cerpen Akhir Pekan TangerangDaily

waktu baca 11 menit
Minggu, 26 Sep 2021 06:13 0 261 Redaksi TD

Cerpen Khairi Hamba

Ketiga saudara itu tengah bersantai di sebuah restoran di pinggiran kota. Sugandi, laki-laki setengah baya dengan rambut tersepuh uban putih keperakan, berperawakan besar, dan berperut buncit. Sebatang cerutu yang mengepulkan asap putih selalu bertengger di jepitan dua jarinya. Ia adalah saudara paling tua di antara mereka bertiga.

Suganda, pria berkacamata adik pertama Sugandi tak kalah dengan kakaknya perihal perawakan, dengan perutnya yang membuncit, dan muka bulat yang kerap basah oleh keringat. Ia sedang asyik melahap berbagai hidangan yang mereka pesan.

Sedangkan Sugali, sedikit berbeda dari kedua saudaranya, perawakannya tinggi kurus, dengan dagu tirus dan tulang rahang yang menonjol serta rambut beruban yang meriap. Dengan muka dijalari kumis serta janggut, terkesan tak terurus. Ia pun terlihat santai menyeruput kopi hitam dan menghisap rokoknya.

Sugandi, sebagai saudara sulung mulai membuka pembicaraan yang menjadi tujuan pertemuan ketiganya sore itu.

“Perlu kalian berdua ketahui, proses pengukuran tanah oleh petugas desa dan kecamatan sudah kelar. Begitu juga pengurusan sertifikatnya. Tanah sisa peninggalan orang tua kita, sesuai kesepakatan, seluruhnya akan kita jual buat areal pemakaman.

“Kemarin, aku sudah bicara sama yang berminat beli, termasuk Kepala Desa dan beberapa tuan tanah di kampung kita. Hasilnya nanti kita bagi empat,”

“Jjjatttah Suggggiiina gak sebbbesaaar jataaah kittta kaaan, Kaaang?” Suganda menimpali dengan mata mendelik dan mulut penuh kunyahan. Dengan hasrat makannya yang rakus ia kembali menyuap sesendok demi sesendok tanpa henti menu kesukaannya meski mulutnya telah menggembung.

Sugali yang duduk di tentang arah menampakkan muka kusut. Sebatang rokok yang tersulut dan bertengger di sudut bibirnya mengepulkan asap putih tiap kali ia menghembuskan nafas atau berbicara.

“Setau aku, jatah warisan buat perempuan ga sebesar jatah laki-laki. Lagian, si Rahman, suami Sugina tak mau nerima jatah tanah pemakaman. Katanya lebih baik disodaqohkan saja.” ujar Sugali seraya mematikan puntung rokoknya ke asbak, lantas menyulut sebatang rokok baru. Suganda yang baru saja selesai menyantap makanannya mengembangkan senyum lebar sumringah.

“Baguslah kalau gitu, kita bagi tiga saja. Kupikir si Rahman yang sok alim itu cuma iri saja karena jatah istrinya cuma seiprit, ga sebesar jatah kita bertiga.”

Mereka pun tertawa serempak, terkekeh-kekeh menertawakan ketololan Rahman dan membayangkan banyaknya jumlah uang yang akan mereka terima usai akad jual beli.
*

Rahman memang lelaki sederhana. Kesehariannya selain mengajar mengaji anak-anak saban sore di sebuah madrasah, dengan berbekal ijazah sarjananya, ia juga mengajar di sekolah dasar. Meski bertahun lama masih tetap berstatus pengajar honorer dengan penghasilan ala kadar.

Namun mengenai pembagian hasil warisan berupa tanah pemakaman, Rahman sedari awal menolaknya mentah-mentah. Menurutnya, tanah seluas hampir satu hektar yang terletak di pinggiran desa itu memang sejak awal sudah direncanakan untuk diwakafkan oleh mendiang mertuanya, sebelum keduanya wafat.

Namun ketiga kakak iparnya yang dikenal orang banyak berperangai rakus dan tamak dengan segala hal yang berbau uang, malah memperjualbelikannya untuk dijadikan areal pemakaman baik pribadi maupun umum.

Dengan ketidaksetujuannya, Rahman dianggap tolol dan sok alim oleh ketiga kakak iparnya itu, namun ia tak mau terpancing pertengkaran, apalagi dengan saudara sendiri. Meski sebenarnya Sugina, istrinya, tak sepenuhnya setuju dengan keputusan suaminya dengan menolak jatah warisan mendiang orang tuanya itu, namun sebagai istri, ia tetap harus tetap manut kepada setiap keputusan imamnya.

Dan Rahman pun mengetahui hal itu, ia pun berusaha menghibur dan meyakinkan istrinya bahwa keputusannya adalah yang terbaik demi ketenangan kehidupan rumah tangga mereka.

“Tak semua yang orang anggap kebahagiaan adalah kebahagiaan yang sebenarnya De. Kita harus pandai memilah, mana kebahagiaan yang baik dan mana yang tidak. Tanah yang sudah diniatkan buat wakaf, tak baik kalau akhirnya diperjualbelikan. Bisa menuai bencana.” ujar Rahman.

Sugina melirik sekilas wajah suaminya dengan enggan. “Tapi tak ikhlas rasanya melihat ketiga abang saya malah berfoya-foya dengan hasil penjualan tanah warusan itu, sedangkan kita setiap hari hidup serba kekurangan, Kak.”

Rahman menghela nafas. Kata-kata yang diucapkan istrinya mencipta kesesakan di relung dadanya.

“Semoga Allah memberikan kesabaran dan kelapangan rezeki pada kita, De.” Akhirnya kata-kata suaminya itu yang selalu menyejukkan hati membuat Sugina tenang dalam kepasrahan. Ia tahu benar, bagaimana tabiat ketiga kakak laki-lakinya itu.

Semasa orang tuanya masih hidup pun, mereka kerap meresahkan dan membuat orangtuanya kesusahan. Harta benda milik orang tua sedikit demi sedikit mereka kuasai, hingga di akhir kehidupan ibu bapak yang melahirkan mereka, ketiganya masih saja memperebutkan harta warisan.

Hingga yang tersisa berupa tanah yang semula hendak diwakafkan untuk areal pemakaman umum pun akhirnya mereka mereka jual. Dan Rahman, suaminya bersikeras menentang rencana mereka harus jadi pihak yang kalah dan dipecundangi. Sebagai anak paling bungsu, Sugina hanya bisa pasrah dan mengharap segala keperluan hidupnya hanya pada Allah semata dan mentaati apapun keputusan suaminya yang dinilainya selalu bijak.
*

Beberapa bulan setelah akad jual beli tanah warisan untuk pemakaman itu usai, kejadian yang menggegerkan seluruh warga pun terjadi. Di malam dengan hujan yang turun lebat, seolah seluruh persediaan air tumpah curah dari langit, seorang lelaki tua berpayung usang tergopoh-gopoh menembus pekatnya malam dan genangan banjir di jalanan.

Lelaki tua itu terlihat menggedor-gedor pintu rumah Rahman yang tengah lelap di dalamnya. Wajah Rahman yang sarat kekagetan dan kepenasaran terbangun dan segera beranjak membukakan pintu, tampak Sugina pun mengintip dari balik bahu suaminya.

“Pak Rahman, anu…mohon maafkan saya, terpaksa membangunkan istirahat Pak Rahman, juga Bu Sugina. Anu…saya disuruh nyonya besar agar Pak Rahman dan Bu Sugina segera datang ke rumah beliau. Keadaan Juragan Gandi sudah sangat memprihatinkan,” ujar lelaki tua suruhan istri Sugandi itu dengan terbata-bata. Rahman dan Sugina tampak terkejut mendengar kabar di tengah malam buta itu. Mereka pun segera bersiap diri, tak lama kemudian tergesa-gesa mengikuti langkah Lelaki Tua, dinaungi payung menembus dingin dan lebatnya hujan diselingi petir memekakkan telinga.

Mereka bertiga berjalan beriringan tampak bagaikan siluet yang bergerak perlahan menembus pekatnya malam, lebatnya hujan, dan hembusan angin yang mengibarkan payung dan pepohonan. Di sebuah rumah mewah, tubuh tambun kelebihan lemak itu terbujur kaku di atas pembaringannya. Aroma tak mengenakkan berupa bau kencing dan kotoran yang menyengat meruak dari tempat berbaringnya itu. Tubuh itu nyaris tak bergerak, tanpa riak kehidupan. Hanya sepasang matanya yang nyalang sesekali berkedip, sarat beban derita. Seorang pembantu rumah tangga yang bertugas menungguinya sudah terkulai lelap di atas sehelai karpet, tak jauh dari pembaringan juragannya. Tayangan TV di tengah ruangan masih menyala tanpa pemirsa.

Rahman beserta Sugina dan Pak Tua yang baru tiba beranjak mendekati pembaringan. Sugandi terbujur kaku dengan kedua mata nyalang menatap langit-langit ruangan. Lewat kedipan matanya yang lemah seakan ia berusaha menyapa kedatangan adik perempuan dan iparnya. Seorang perempuan setengah baya dengan wajah bermasker dan tubuh gendut berbalut daster keluar dari kamarnya. Raut mukanya kuyu, tanpa senyuman dan keramahan, baru saja ia terbangun dari lelap tidurnya malam itu demi mendengar suara di ruang tengahnya. Demi melihat siapa yang datang, istri Sugandi menampakkan raut kekesalan.

“Lihat tuh Gina, kakakmu, ngerepotinnya bukan kepalang. Bikin repot seluruh keluarga. Sudah hampir tiga minggu dia tak bisa bangun, tak bisa gerak barang sedikit pun. Kamu seharusnya sebagai adik ikut bantu mengurus!”

Sugina yang merasa tersinggung atas sambutan kakak iparnya yang selalu menyudutkannya hendak berbicara, namun Rahman yang berusaha selalu bijak menghadapi situasi seperti itu segera menengahi,

“Harap kakak mau memaafkan kami yang tidak tau keadaan Bang Gandi selama ini. Kami yang salah, sebagai adik tidak bisa meluangkan waktu bersilaturahmi.”

Istri Sugandi semakin memajukan mulutnya. “Makanya, sesekali tengok kalau masih mengakui kami sebagai kakak kalian.”

Sugina menghela nafas, bayangannya terpesat pada beberapa bulan yang lampau. Saat dia dan suaminya diperlakukan selayak pengemis ketika datang bersilaturahmi ke rumah Sugandi yang megah dan mentereng.

Melihat keadaannya sekarang yang kritis, Rahman menyarankan agar Sugandi segera dirawat ke Rumah Sakit, namun istrinya yang dikenal berwatak pelit dan enggan mengeluarkan uang sepeser pun menolaknya. Alasannya Sugandi berpesan sebelum keadaannya memburuk, agar ia dirawat di rumah saja, tidak di di Rumah Sakit.

“Sekarang, kalau memang kalian masih mengakui Sugandi kakak kalian, aku minta kalian merawat sakitnya ini di rumah kalian saja. Aku sudah capek mengurusnya tiap hari, sampai waktuku habis hanya buat mengurus kakakmu ini.” ujar perempuan setengah baya itu dengan mimik sebal. Sugina yang sedari awal sudah menahan diri akhirnya tak mampu lagi membendung luapan kekesalan.

“Kewajiban seorang istri-lah yang seharusnya merawat dan melayani suaminya, baik sehat maupun sakit, senang atau susah, kak. Bukan malah membuang dan melimpahkan kewajiban pada saudaranya,” lontaran kalimat Sugina membuat perempuan setengah baya itu semakin berang.

“Lancang kamu ya Gina?! Mau menasihatiku soal kewajiban istri? Memangnya siapa kamu? Ustadzah?!” luapan amarahnya terwakili pada teriakannya yang melengking, terdengar di seluruh ruangan, membuat beberapa orang yang berada di sana ketar-ketir. Rahman pun segera bertindak sebagai penengah. Ia menyetujui untuk mengurus sakitnya Sugandi, karena menurutnya itu juga salah satu kewajiban mereka, sebagai saudara.

Seburuk apapun sikap dan perbuatan Sugandi selama ini terhadap diri dan keluarganya, Sugandi tetap kakak iparnya. Namun, ketika tubuh Sugandi yang terbujur kaku seperti balok kayu itu hendak diangkat dengan dibantu oleh Pak Tua hendak diberangkatkan menuju rumah Rahman, mendadak seluruh sendi tubuh Sugandi bergetar tak tertahan. Terdengar pula suara gemeletuk seperti tulang-belulang yang patah, lalu dengan suara ketercekatan seperti tercekik, muntahan darah segar pun meleleh dari sudut bibirnya. Tubuh tambun itu pun semakin terlihat kaku, dengan sepasang mata membelalak sarat penderitaan. Ajal telah lebih dulu merenggut dan menjemput sebelum tubuhnya dipindahkan. Jerit tangis seisi ruangan pun pecah seketika.
*

Kematian Sugandi yang terjadi setelah proses jual beli tanah pemakaman warisan orang tuanya itu, tentu saja menuai isu yang santer di tengah warga. Menurut kabar yang beredar, kematian Sugandi ada sangkut-pautnya dengan sikap dan watak congkaknya yang selama ini dikenal orang sekampung. Juga keserakahannya yang tak pernah memandang hal baik ataupun buruk. Segala cara seringkali dilakukannya demi mencapai maksud dan tujuan yang diinginkannya.

Sama halnya dengan kedua saudaranya, Suganda dan Sugali. Ketiganya telah lama dikenal sebagai sosok yang berperangai buruk. Bahkan kabar yang tengah santer terdengar, tak akan lama lagi kedua saudaranya itu pun akan mengalami nasib serupa, akibat kutukan penjualan tanah pemakaman.

Tak dinyana, dugaan warga kampung pun berubah menjadi menjadi kenyataan. Suganda yang selama ini dikenal warga sebagai rentenir bengis yang tega memeras keringat dan darah orang-orang yang terjerat utang padanya, ditemukan tewas tak bernyawa di sebuah kawasan prostitusi. Dengan tubuh telanjang tanpa sehelai benang pun, lelaki tambun kelebihan lemak itu meregang nyawa setelah mencakari dirinya sendiri seperti kesetanan, hingga luka berdarah pun menghiasi sekujur jenazahnya.

Warga kampung pun kembali gempar. Liang lahat baru kembali dibuat demi memendam mayat seorang rentenir bernama Suganda. Di samping tanah kuburan Sugandi yang masih merah. Tentu saja, Sugina sebagai saudara perempuan dari kedua kakak laki-lakinya itu merasa sangat terguncang dan terpukul oleh duka. Rahman berusaha memberinya kekuatan demi menghadapi ujian pahit yang harus mereka berdua hadapi.
*

Seluruh warga kampung semakin yakin bahwasannya kutukan tanah pemakaman benar-benar terjadi. Bahkan beberapa di antara mereka bertaruh satu sama lain mengenai nasib Sugali, orang terakhir dari ketiga bersaudara itu. Lelaki kurus yang selama ini mereka kenal sebagai penjudi kelas kakap. Bahkan menurut kabar yang beredar, uang hasil penjualan tanah pemakaman yang diterimanya pun ludes tak bersisa di meja judi, selain untuk minuman keras kegemarannya, dan juga para perempuan malam yang menjadi langganannya.

Malam itu, setelah kematian kedua saudaranya, seperti biasa, Sugali tengah berada di sebuah warung remang-remang yang selama ini kerap dijadikan tempat perjudian dan prostitusi.

“Mungkin setelah kematian dua kakakku, warga kampung sini menunggu kabar kematianku. Hahaha, warga sialan! Mereka sangat percaya tanah pemakaman itu menuai kutukan. Aku tidak akan mati secepat kakak-kakakku. Masa bodoh dengan omongan mereka, yang penting malam ini, aku ingin senang-senang!” teriak Sugali seraya menenggak minuman keras dengan ditemani teman-temannya sesama penjudi.

Seorang perempuan malam dengan pakaian serba minim dan riasan tebal menggelayut manja di pangkuannya. Arena perjudian tak pernah sepi di tempat itu, begitu pula peredaran minuman keras juga prostitusi sebagai hiburan pelengkap. Sugali dikenal sosok yang royal dan kerap mentraktir semua orang yang hadir tiap kali ia memenangkan taruhan. Sama sekali tak ada riak kesedihan atas kejadian yang merenggut nyawa kedua saudaranya. Malam itu Sugali malah menenggak minuman lebih banyak dari biasanya. Entah berapa botol yang telah ia tenggak, hingga semua orang yang hadir di tempat itu menyaksikan kejadian yang mencengangkan.

Lelaki kurus itu tiba-tiba muntah darah. Bukan hanya dari mulutnya saja darah segar keluar, bahkan dari dua lubang hidung, telinga, dan juga keluar meleleh dari balik bola matanya. Orang-orang pun panik dan ketakutan melihat pemandangan mengerikan itu.

Sugali ambruk di tanah di antara kaki meja judi, sembari masih berusaha untuk merangkak bangkit dengan keadaannya yang mengenaskan itu.

“Akuu tiiidak akaaan maaatii! Tidaaak aaaakkkaaan!!!” kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya bersamaan dengan muntahan kali kedua berupa darah segar. Tubuhnya yang kurus kering berbalut pakaian kumal itu pun kembali ambruk, terkulai dan menggelepar di atas tanah, suara mengorok yang keluar dari tenggorokkannya seperti seekor ayam disembelih. Kematian ketiga pun kembali terjadi. Seluruh warga semakin meyakini, bahwa kutukan tanah pemakaman telah benar-benar terjadi. *

LAINNYA