Cyber Agriculture: Ketika Pertanian Bertemu Dunia Digital

waktu baca 3 minutes
Selasa, 16 Des 2025 23:28 0 Nazwa

OPINI | TD — Perkembangan teknologi komunikasi dan digital telah membawa perubahan mendasar dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk pertanian. Jika pada masa lalu aktivitas bertani identik dengan cara-cara tradisional yang mengandalkan pengalaman turun-temurun, kini teknologi hadir sebagai kekuatan baru yang mengubah pola pikir dan cara kerja petani. Dalam konteks inilah konsep Cyber Agriculture muncul, menandai pertemuan antara sektor agraris dan dunia digital yang kian tak terpisahkan dari kehidupan modern.

Cyber Agriculture merupakan penerapan teknologi digital dalam seluruh rangkaian proses pertanian, mulai dari perencanaan, pengelolaan lahan, hingga pemasaran hasil panen. Kehadiran perangkat berbasis internet, data, dan sistem otomatisasi memungkinkan pertanian dikelola secara lebih presisi dan efisien. Pertanian tidak lagi semata mengandalkan intuisi, tetapi juga berbasis data dan analisis yang akurat.

Pemanfaatan sensor tanah dan cuaca, misalnya, memungkinkan petani memantau kondisi lahan secara real time. Informasi mengenai kelembapan tanah, suhu udara, intensitas cahaya, hingga kebutuhan air tanaman dapat diakses melalui perangkat digital seperti smartphone. Dengan data tersebut, petani dapat mengambil keputusan yang lebih tepat, mengurangi pemborosan sumber daya, serta meningkatkan produktivitas lahan.

Selain itu, penggunaan drone dan citra satelit memberikan kemudahan dalam pemantauan lahan berskala luas. Teknologi ini membantu mendeteksi secara dini potensi serangan hama, penyakit tanaman, atau ketidakseimbangan nutrisi. Deteksi yang lebih cepat memungkinkan tindakan pencegahan dilakukan sejak awal, sehingga risiko gagal panen dapat ditekan secara signifikan.

Perkembangan teknologi komunikasi juga membuka akses informasi dan pasar yang lebih luas bagi petani. Melalui berbagai aplikasi dan platform digital, petani dapat memperoleh informasi harga pasar, prakiraan cuaca, serta inovasi teknik budidaya terbaru. Bahkan, hasil pertanian kini dapat dipasarkan secara langsung melalui media digital tanpa bergantung pada perantara, sehingga rantai distribusi menjadi lebih singkat, transparan, dan menguntungkan petani.

Namun demikian, penerapan Cyber Agriculture tidak lepas dari berbagai tantangan. Keterbatasan infrastruktur internet di wilayah pedesaan, rendahnya tingkat literasi digital, serta biaya adopsi teknologi yang relatif tinggi masih menjadi hambatan utama. Kondisi ini menunjukkan bahwa transformasi digital di sektor pertanian memerlukan dukungan kebijakan, pendampingan, serta kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Secara umum, Cyber Agriculture membawa dampak positif yang signifikan bagi dunia pertanian. Teknologi digital mampu meningkatkan efisiensi kerja, memperbaiki kualitas dan kuantitas hasil panen, serta memperluas akses pasar. Dengan dukungan teknologi komunikasi, pertanian bertransformasi menjadi sektor yang lebih modern, adaptif, dan berbasis data.

Di sisi lain, tanpa kesiapan sumber daya manusia dan pemerataan infrastruktur, Cyber Agriculture berpotensi menimbulkan dampak negatif. Kesenjangan digital dapat memperlebar jurang antara petani yang mampu mengakses teknologi dan mereka yang tertinggal. Selain itu, ketergantungan berlebihan pada sistem digital juga berisiko menimbulkan masalah baru ketika teknologi mengalami gangguan atau kegagalan.

Oleh karena itu, penerapan Cyber Agriculture perlu diiringi dengan pelatihan berkelanjutan, pendampingan yang intensif, serta pemerataan akses teknologi hingga ke wilayah pedesaan. Dengan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan, pertemuan antara pertanian dan dunia digital dapat menjadi solusi strategis bagi ketahanan pangan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani di masa depan.

Penulis: Nasyala Muslimah
Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten. (*)

LAINNYA