Bahasa Iklan Digital dan Tekanan Feminitas: Refleksi Terhadap Identitas Perempuan Muda Urban

waktu baca 4 minutes
Kamis, 11 Des 2025 10:42 0 Nazwa

OPINI | TD — Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan periklanan digital terjadi dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan media tradisional. Platform seperti Instagram dan TikTok tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk berinteraksi sosial, tetapi juga sebagai alat untuk menciptakan nilai-nilai budaya yang baru. Di dalam konteks ini, penggunaan bahasa sangat penting. Melalui pemilihan kata, penggunaan metafora, dan cerita yang dirancang untuk mempromosikan produk, bahasa dalam iklan digital akhirnya ikut menentukan apa yang dianggap sebagai kecantikan perempuan. Standar ini tidak muncul begitu saja, tetapi akibat pengulangan pesan, visualisasi tubuh ideal, dan konstruksi makna mengenai feminitas—sebuah bentuk tekanan budaya yang semakin menguat di area perkotaan.

Bahasa yang digunakan dalam iklan digital kini tidak hanya terbatas pada deskripsi produk, tetapi juga menciptakan gambaran tentang wanita ideal. Istilah seperti “bersinar”, “sempurna”, “kulit kaca”, “mencerahkan”, atau “penampilan sempurna” kini menjadi bagian dari komunikasi sehari-hari. Pilihan kata ini tidak hanya menyoroti manfaat dari produk, tetapi juga menyajikan pandangan sosial tentang bagaimana seharusnya penampilan wanita. Iklan kecantikan menciptakan hubungan simbolis yang kuat antara tubuh yang diidamkan dan identitas pribadi. Dengan kata lain, bahasa yang ada di platform digital tidak hanya mempromosikan kosmetik, tetapi juga menegaskan standar nilai terkait penampilan wanita.

Melalui sudut pandang ilmu komunikasi, bahasa dalam iklan dapat dilihat sebagai cara untuk membingkai realitas: ia mengatur makna tertentu agar tampak seperti kebenaran yang diterima secara umum. Bingkai inilah yang membuat ide tentang kecantikan dianggap universal, padahal sebenarnya merupakan hasil konstruksi budaya. Gambaran tubuh wanita dalam iklan juga menghadirkan cerita mengenai feminitas yang selalu harus terawat, bersih, bercahaya, muda, dan seimbang. Identitas perempuan—terutama yang muda di daerah perkotaan—secara perlahan dibentuk berdasarkan apa yang sering mereka lihat di layar handphone.

Tekanan terhadap feminitas diperkuat oleh ekosistem media sosial yang beroperasi dengan algoritma. Di TikTok, misalnya, halaman rekomendasi menawarkan konten yang sesuai dengan minat pengguna, sehingga meningkatkan paparan terhadap visual dan narasi tubuh ideal. Ketika seorang perempuan sering menyukai konten kecantikan, ia akan terus mendapatkan konten serupa. Dalam hal ini, bahasa iklan tidak berdiri sendiri; ia berkolaborasi dengan visual, influencer, dan algoritma untuk membentuk budaya kecantikan yang tampak normal. Pengulangan pesan membuat standar kecantikan yang sebenarnya bersifat konstruktif menjadi tampak alami.

Tekanan ini sering kali tidak disadari. Ia bekerja secara halus dan simbolis sehingga tidak tampak sebagai paksaan. Perempuan muda didorong untuk membeli barang tertentu agar bisa “diterima”, “dikenali”, atau “dianggap layak” di ruang sosial digital. Akhirnya, kecantikan dipersepsikan sebagai syarat berharga bagi perempuan. Tubuh perempuan menjadi proyek perbaikan yang tiada henti—selalu ada yang perlu diperbaiki, dirapikan, dikurangi, dirampingkan, dan disempurnakan. Bahasa iklan berfungsi sebagai agen yang secara bertahap mengesahkan ketidakpuasan diri.

Tekanan feminitas juga berdampak pada psikologis. Wanita yang terus-menerus terpapar narasi kecantikan ideal sering merasa kurang percaya diri terhadap penampilan mereka. Ketidaknyamanan ini bisa muncul sejak usia sangat muda. Gadis-gadis bahkan dapat menyerap perasaan tidak puas sebelum mampu berpikir kritis tentang standar yang tidak realistis. Body shaming dapat muncul tidak hanya dari lingkungan sosial, tetapi juga dari dalam diri—dibentuk oleh paparan kata-kata iklan yang memuja bentuk tubuh tertentu.

Pada aspek sosial, tekanan ini menciptakan ketidakseimbangan budaya. Wanita yang tidak sesuai dengan ukuran kecantikan yang berlaku sering menghadapi diskriminasi tidak langsung, baik di tempat kerja, lingkungan sosial, maupun media sosial. Sebaliknya, wanita yang memenuhi kriteria kecantikan sering mendapatkan perlakuan khusus: dipuji, lebih mudah diterima, atau dianggap “menarik”. Tekanan untuk memenuhi norma feminin melanggengkan bias budaya yang mengaitkan identitas perempuan dengan penampilan fisik.

Dalam konteks organisasi yang menangani isu perempuan dan anak, fenomena ini penting diperhatikan. Iklan digital telah menjadi sumber risiko baru bagi kesehatan mental perempuan muda. Organisasi terkait perlu mengedepankan literasi media sebagai bagian dari pendampingan. Pendidikan tentang keberagaman tubuh, identitas pribadi, dan sikap kritis terhadap narasi kecantikan komersial harus diprioritaskan. Tanpa kesadaran kritis, perempuan rentan terjebak dalam pola konsumsi yang menghasilkan ketidakpuasan diri.

Pada akhirnya, refleksi menjadi langkah penting untuk memahami fenomena ini. Tekanan feminitas dalam iklan digital adalah gejala sosial yang perlu disadari, bukan diterima begitu saja. Perempuan perlu memahami bahwa ukuran kecantikan adalah konstruksi yang dapat dinegosiasikan, bukan kewajiban. Kesadaran ini diharapkan membantu membentuk identitas perempuan yang lebih mandiri, percaya diri, dan kritis terhadap narasi tubuh yang dipromosikan media.

Penulis: Zalfaa Rheya Andre
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA