Jihad Melawan Kekerdilan Pikiran, Sebuah Antitesa Terhadap Diktum Cogito Ergo Sum

waktu baca 3 minutes
Jumat, 14 Nov 2025 10:48 0 Nazwa

KOLOM | TD — Ada masa ketika kita merasa sudah paham banyak hal, padahal yang kita pegang hanya serpihan-serpihan kecil dari dunia yang jauh lebih luas dari genggaman kita. Itulah awal mula kekerdilan pikiran—bukan karena kita bodoh, tetapi karena kita terlalu nyaman dengan penjara pikiran kita sendiri. Diam-diam kita menjadikan diri sebagai pusat semesta, seperti anak kecil yang menggambar matahari mengelilingi kepalanya sendiri.

Dan lucunya, kita percaya itu.

Padahal dari dulu filsafat sudah mengingatkan bahwa antroposentrisme lahir bukan dari kebenaran, melainkan dari ego yang ngeyel. Dari Protagoras yang bilang “manusia adalah ukuran segala sesuatu”, sampai Descartes yang memaku dunia pada satu titik: aku berpikir. Sejak itu, semesta dipaksa mengecil agar muat di kepala manusia. Semua harus bisa dijelaskan, dihitung, disiapkan, dikendalikan. Kalau tidak bisa, ya dianggap tidak penting.

Begitu saja.

Tapi kehidupan tak pernah sesederhana ambisi manusia. Ada ruang-ruang yang tak tembus oleh logika. Ada kedahsyatan yang tak mau diberi nama. Ada rahasia yang hanya bisa disentuh oleh hati yang tak sedang membanggakan dirinya.

Di sinilah agama—dengan seluruh kedalaman lamanya—sebenarnya mengajak kita menurunkan bahu yang terlalu tinggi. Kalimat Allāhu akbar bukan sekadar suara, tapi sebuah tamparan lembut pada keakuan kita. “Hei, ada yang lebih besar dari dirimu. Banyak sekali malah.” Takbir bukan pamer, tapi pengingat bahwa manusia bukan pusat, hanya tamu yang singgah sebentar.

Lalu dzikir Lā ilāha illā Allāh datang seperti sapu yang membersihkan ruang batin: menyingkirkan berhala-berhala kecil yang kita rawat diam-diam—ambisi, penilaian orang, ketakutan kehilangan, bahkan rasa ingin terlihat pintar. Dengan mengulang kalimat itu, kita sedang meyakinkan diri bahwa pusat dunia bukan diri kita; dan sesungguhnya menanggalkan beban itu terasa lega sekali.

Bila hati mulai lapang, kita mungkin masuk pada wilayah yang oleh para sufi disebut mahalul tajalli. Bukan cahaya turun dari langit sambil membawa efek khusus seperti film, tapi kejernihan yang membuat kita melihat dunia apa adanya—tanpa kabut ego yang selalu ingin tampil di panggung pertama. Tajalli itu sederhana: kita akhirnya berhenti memantulkan wajah sendiri ke mana-mana, dan membiarkan cahaya lain menembus kita.

Di titik itu manusia tak lagi sibuk menjadi pusat. Ia cukup menjadi cermin. Dan anehnya, justru saat itulah manusia menjadi paling manusia.

Jihad melawan kekerdilan pikiran pada akhirnya bukan perkara menaklukkan dunia, tetapi menundukkan keinginan kita untuk selalu menjadi pusatnya. Mengakui bahwa kita tidak sebesar yang kita kira. Bahwa ada kebijaksanaan yang tumbuh dari kerendahan hati, bukan dari kemenangan argumen. Bahwa dunia tidak memerlukan kita untuk berputar.

Yang diperlukan hanyalah manusia yang tahu tempatnya—dan karena itu, bisa melihat dengan jernih apa yang sebelumnya tertutup oleh dirinya sendiri. (Tim Redaksi)

LAINNYA