Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh penulis. OPINI | TD — Bagi sebagian besar mahasiswa semester akhir, perjuangan bukan hanya soal menyelesaikan skripsi, tapi juga tentang menjaga ketahanan mental dan kewarasan pikiran.
Di tahap ini, segalanya terasa seperti maraton panjang tanpa garis akhir yang jelas — dari dosen pembimbing yang sulit dihubungi, revisi yang tiada henti, hingga pertanyaan klasik yang entah kenapa selalu muncul di setiap pertemuan keluarga:
“Kapan lulus?”
Awalnya mungkin masih bisa ditanggapi dengan senyum dan candaan. Tapi lama-kelamaan, pertanyaan itu bisa berubah jadi beban mental. Tanpa disadari, overthinking mulai menguasai pikiran. Rasanya seperti ada mesin di kepala yang tak bisa dimatikan, terus berputar memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi.
Dan di tengah semua itu, satu hal yang sering jadi pelarian sederhana tapi bermakna: segelas kopi dingin di meja kerja, menemani malam-malam panjang penuh revisi dan harapan agar file bernama “BAB 3 revisi fix beneran.docx” benar-benar menjadi yang terakhir.
Bagi mahasiswa tingkat akhir, overthinking sering datang tanpa permisi. Saat sedang mengetik skripsi, tiba-tiba muncul pikiran seperti:
“Kalau revisi ini ditolak lagi gimana?”
“Kalau dosen pembimbing nggak bales chat, aku harus gimana?”
“Setelah lulus, aku mau kerja apa?”
Pikiran-pikiran kecil ini bisa tumbuh jadi kekhawatiran besar. Lama-kelamaan, bukan cuma tugas yang terasa berat, tapi juga beban batin yang menumpuk.
Padahal, tidak semua yang kita khawatirkan benar-benar akan terjadi. Namun, otak kita sering kali tidak bisa membedakan antara masalah nyata dan kekhawatiran yang kita ciptakan sendiri.
Fase akhir kuliah memang tidak main-main. Ada tekanan akademik, ekspektasi keluarga, hingga rasa minder ketika teman-teman mulai satu per satu wisuda.
Rasanya seperti berdiri di garis start sendirian, menatap mereka yang sudah melesat lebih dulu. Padahal, setiap orang punya waktunya masing-masing.
Sayangnya, pikiran kita sering kali menolak kenyataan itu. Kita sibuk membandingkan diri dengan orang lain, sampai lupa menghargai proses sendiri.
Akibatnya, tidur jadi tidak nyenyak, nafsu makan menurun, bahkan semangat untuk beraktivitas pun perlahan hilang.
Sebelum tenggelam lebih dalam dalam pusaran pikiran, cobalah berhenti sejenak.
Ambil napas panjang, dengarkan lagu favoritmu, dan nikmati segelas kopi dingin tanpa tergesa.
Kadang, yang kita butuhkan bukan solusi instan, tapi waktu untuk menenangkan diri.
Ingat, tidak apa-apa jika hari ini kamu hanya bisa menulis satu halaman skripsi atau mengirim satu file revisi. Tidak perlu sempurna — yang penting, terus berjalan.
Perjalanan panjang memang melelahkan, tapi langkah kecil yang konsisten akan membawamu lebih jauh dibanding berhenti karena takut gagal.
Di tengah kesibukan mengejar deadline dan bimbingan, jangan lupa untuk tetap menjadi manusia yang utuh.
Sesekali, beri ruang untuk bernapas. Nongkrong dengan teman seperjuangan, menonton film lucu, atau sekadar curhat tentang dosen pembimbing yang suka ghosting bisa membantu melepaskan beban batin.
Kamu tidak sendirian. Hampir semua mahasiswa semester akhir pernah merasakan malam panjang ditemani kopi, tumpukan revisi, dan perasaan campur aduk antara stres dan harapan.
Kadang, satu obrolan ringan dengan teman bisa lebih menenangkan daripada tidur semalaman.
Dan ketika hari itu akhirnya datang — saat kamu mengenakan toga, menatap nama sendiri di ijazah, dan tersenyum lega — mungkin segelas kopi dingin yang dulu jadi teman begadang akan terasa lebih manis.
Bukan karena gulanya, tapi karena kamu tahu, setiap tetes perjuangan, setiap malam revisi, dan setiap detik overthinking, kini sudah terbayar lunas.
Semangat, para pejuang skripsi.
Kamu tidak sedang terlambat, kamu hanya sedang menjalani prosesmu sendiri — dan itu tidak apa-apa.
Sebab pada akhirnya, bukan seberapa cepat kamu lulus yang terpenting, tapi seberapa kuat kamu bertahan untuk sampai ke garis akhir.
Penulis: Putri Rosidah,
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)