OPINI | TD — Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah dan potensi ekonomi besar. Namun, di balik pertumbuhan yang tampak mengesankan, terdapat jurang kesenjangan yang terus melebar. Sementara banyak orang sibuk menunjuk korupsi sebagai akar masalah, sesungguhnya ada persoalan yang lebih mendasar: kesenjangan itu juga tertanam dalam cara berpikir dan struktur ideologis masyarakat yang tanpa sadar melegitimasi ketidakadilan.
Dalam banyak percakapan publik, kemiskinan sering dipahami sebagai akibat kegagalan individu—karena kurangnya kerja keras, rendahnya pendidikan, atau pilihan hidup yang salah. Pandangan seperti ini sejalan dengan konservatisme sosial dan ekonomi, yang menggeser fokus dari kegagalan sistem ke moralitas individu. Dari situlah lahir doktrin “Terima Nasib,” seolah-olah kemiskinan adalah sesuatu yang wajar, dan hierarki sosial dianggap sebagai susunan alamiah yang tidak bisa diubah.
Pandangan konservatif meyakini bahwa masyarakat memerlukan lapisan-lapisan peran untuk berfungsi dengan baik. Menyamakan pendapatan atau status sosial dianggap berisiko, karena dikhawatirkan akan mengurangi motivasi dan produktivitas. Secara logika, perbedaan status ini dipandang sebagai pendorong agar orang mau bekerja lebih keras.
Namun, di Indonesia, pandangan ini mendapat dukungan historis dari warisan feodalisme yang masih mengakar dalam budaya sosial. Walaupun sistem feodal sudah lama hilang secara formal, pola hubungan antara “atas” dan “bawah” masih hidup dalam bentuk baru: kepatuhan, penghormatan berlebihan terhadap kekuasaan, dan penerimaan pasif terhadap ketimpangan. Akibatnya, legitimasi terhadap kesenjangan ekonomi menjadi semakin mudah diterima.
Konservatisme juga cenderung skeptis terhadap intervensi negara, termasuk dalam kebijakan kesejahteraan sosial. Bantuan sosial kerap dicap sebagai pemborosan anggaran atau biang kemalasan masyarakat miskin. Pandangan ini menolak konsep welfare state dan menuntut setiap individu untuk menyelesaikan persoalannya sendiri.
Dalam konteks Indonesia, sikap ini berimbas pada menurunnya empati sosial. Ketika pemerintah mengupayakan redistribusi kekayaan melalui pajak progresif, misalnya, sebagian kelompok menolaknya dengan alasan bahwa itu “mengambil hasil kerja keras orang produktif.” Akibatnya, yang miskin semakin tersingkir, dan yang kaya semakin mapan dalam sistem yang berpihak pada mereka.
Narasi publik turut memperkuat legitimasi ketimpangan ini. Kalimat seperti “kamu kurang bersyukur,” “pindah saja ke kota,” atau “kalau mau kaya, jangan malas” sering kali dilontarkan tanpa menyadari bahwa persoalannya jauh lebih kompleks. Faktor struktural seperti ketimpangan pendidikan, akses ekonomi, dan jaringan sosial justru berperan besar dalam menentukan mobilitas sosial seseorang.
Penelitian oleh Abdullah Edo dan Muhammad Yasin (2024) menunjukkan bahwa latar belakang keluarga dan stabilitas ekonomi jauh lebih menentukan dibanding kerja keras semata. Anak dari keluarga kaya memiliki peluang pendidikan dan jaringan sosial yang jauh lebih baik dibanding anak dari keluarga miskin. Artinya, kekayaan tidak selalu buah dari kerja keras, melainkan hasil dari privilese yang diwariskan.
Agama juga kadang dijadikan tameng ideologis bagi konservatisme ini. Keyakinan bahwa kemiskinan adalah “takdir Tuhan” sering disalahartikan, sehingga menghambat kritik terhadap sistem yang tidak adil. Narasi “bersyukur apa adanya” menjadi alat ampuh untuk menumpulkan kesadaran sosial dan menolak perubahan struktural.
Kritik terhadap doktrin “Terima Nasib” penting dilakukan, sebab ia mengancam keadilan sosial dan merusak prinsip dasar kewarganegaraan. Dengan menyalahkan individu miskin atas kemiskinannya, masyarakat menutup mata terhadap kenyataan bahwa sistem ekonomi dan politik telah disusun sedemikian rupa untuk mempertahankan status quo.
Modal awal, jaringan sosial, pendidikan yang timpang, hingga korupsi yang melindungi elit adalah contoh nyata bagaimana struktur sosial Indonesia bekerja untuk mempertahankan ketidaksetaraan. Menyebut orang miskin “malas” bukan hanya salah secara moral, tetapi juga mencerminkan kegagalan empati terhadap realitas sosial yang tidak adil.
Kesenjangan ekonomi yang terus membengkak bukan semata akibat korupsi atau lemahnya kebijakan, melainkan hasil dari ideologi yang menormalisasi ketidakadilan. Doktrin “Terima Nasib” menjadikan kemiskinan tampak sebagai takdir, bukan hasil dari sistem yang cacat.
Sebagai warga negara, kita perlu berpikir kritis terhadap narasi yang menyalahkan individu miskin. Keadilan ekonomi tidak akan tercapai jika masyarakat hanya disuruh menunduk dan bersyukur, tanpa menuntut perubahan pada sistem yang timpang.
Negara seharusnya hadir untuk memperbaiki struktur sosial, bukan membiarkan hierarki berjalan “secara alami.” Keadilan sosial yang dijanjikan konstitusi hanya bisa terwujud ketika masyarakat berani menolak pasrah, dan menuntut agar sistem ekonomi bekerja untuk semua, bukan hanya segelintir yang beruntung.
Penulis: Hasna Nuha Aulia
Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)