Politik Anggaran DPR: Antara Kebutuhan Lembaga dan Tanggung Jawab Moral terhadap Rakyat

waktu baca 4 minutes
Sabtu, 18 Okt 2025 18:18 0 Nazwa

OPINI | TD — Kebijakan anggaran merupakan jantung dari tata kelola pemerintahan modern. Melalui anggaran, negara menentukan arah pembangunan, mengatur pembagian sumber daya, serta menetapkan prioritas kebijakan. Namun, anggaran bukan sekadar dokumen ekonomi — ia adalah produk politik. Di sinilah konsep politik anggaran menemukan relevansinya: bagaimana kekuasaan, kepentingan, dan nilai-nilai saling beradu dalam menentukan ke mana uang negara harus mengalir.

Dalam konteks itu, keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menaikkan anggarannya pada tahun 2025 menjadi isu penting yang menyentuh akar kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. DPR adalah simbol representasi rakyat; setiap kebijakan yang menyangkut anggarannya akan selalu menjadi cermin sejauh mana wakil rakyat benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat. Maka wajar bila publik mempertanyakan: apakah kenaikan ini bertujuan meningkatkan kinerja dan kualitas legislasi, atau justru menjadi bagian dari politik kepentingan di balik meja parlemen?

Dinamika Politik Anggaran: Antara Fungsi dan Kepentingan

Secara konstitusional, DPR memiliki tiga fungsi utama: legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Dalam fungsi penganggaran, DPR bertugas mengawasi dan mengendalikan penggunaan dana publik. Namun di sisi lain, DPR juga merupakan penerima manfaat dari anggaran negara, terutama dalam hal operasional, fasilitas, dan kegiatan kedewanan.

Kondisi ini menimbulkan paradoks: lembaga yang seharusnya mengawasi justru berpotensi menjadi bagian dari persoalan efisiensi fiskal.
Dalam perspektif teori public choice, pengambilan keputusan dalam politik anggaran tidak selalu rasional atau berorientasi publik. Legislator, seperti halnya aktor politik lain, sering kali mempertimbangkan kepentingan pribadi dan kelembagaan. Kenaikan anggaran DPR bisa jadi merupakan hasil kalkulasi politik internal — menjaga citra kelembagaan sekaligus memastikan kenyamanan para anggotanya — bukan murni demi kepentingan rakyat.

Konteks Sosial-Ekonomi 2025: Ketika Sensitivitas Publik Meningkat

Kenaikan anggaran DPR tahun 2025 menjadi semakin sensitif karena terjadi di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih rapuh. Harga kebutuhan pokok meningkat, inflasi global membayangi, dan kesenjangan antara kota dan desa belum tertangani sepenuhnya. Dalam situasi demikian, masyarakat menuntut pemerintah untuk fokus pada prioritas publik: pendidikan, kesehatan, pangan, dan perlindungan sosial.

Ketika DPR justru menaikkan anggarannya secara signifikan, muncul persepsi negatif bahwa wakil rakyat lebih mementingkan kenyamanan institusinya dibanding kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Reaksi publik di media sosial, forum akademik, hingga tajuk opini di media massa menunjukkan kekecewaan yang meluas. Bagi masyarakat, keputusan ini memperlihatkan jarak emosional dan moral antara parlemen dan rakyat.

Argumen DPR: Modernisasi dan Penguatan Kinerja

Meski menuai kritik, DPR memiliki argumentasi yang patut dipertimbangkan. Beberapa pejabat dan fraksi menyatakan bahwa kenaikan anggaran dibutuhkan untuk mendukung modernisasi lembaga, antara lain:

  • Digitalisasi sistem legislasi untuk mempercepat proses pembahasan RUU.
  • Peningkatan kualitas penelitian dan staf ahli agar kebijakan berbasis data dan analisis.
  • Perluasan diplomasi parlemen, guna memperkuat posisi Indonesia dalam hubungan internasional.
  • Peningkatan kesejahteraan pegawai dan fasilitas kerja di lingkungan sekretariat DPR.

Secara teoritis, alasan-alasan tersebut logis. Namun, masalah utama bukan pada jumlah kenaikan, melainkan pada minimnya transparansi dan ukuran kinerja yang jelas. Tanpa indikator objektif, publik sulit menilai apakah tambahan anggaran benar-benar berdampak pada peningkatan kinerja DPR.

Politik Anggaran sebagai Cermin Demokrasi

Kebijakan anggaran seharusnya mencerminkan kualitas demokrasi suatu negara. Dalam demokrasi yang sehat, anggaran disusun dengan transparan, partisipatif, dan berpihak pada kepentingan publik. Politik anggaran DPR 2025 mestinya menjadi momentum refleksi — apakah lembaga ini benar-benar menjalankan fungsi kontrol terhadap keuangan negara, atau justru terjebak dalam pola pragmatisme politik?

Beberapa langkah pembenahan yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menerapkan keterbukaan anggaran melalui portal open budget yang dapat diakses publik.
  2. Membentuk lembaga evaluasi independen untuk menilai efektivitas penggunaan anggaran DPR setiap tahun.
  3. Mengaitkan kenaikan anggaran dengan indikator kinerja terukur, seperti jumlah RUU yang disahkan, kualitas pengawasan, dan partisipasi publik.
  4. Membuka forum konsultasi publik dalam perencanaan program dan kebijakan DPR.

Refleksi: Anggaran, Etika, dan Tanggung Jawab Moral

Politik anggaran sejatinya tidak lepas dari dimensi etika kekuasaan. Anggaran adalah bentuk kepercayaan rakyat yang dititipkan kepada wakilnya. Karena itu, setiap kenaikan anggaran seharusnya dibarengi dengan peningkatan tanggung jawab moral.

DPR perlu menyadari bahwa legitimasi politik tidak diperoleh dari fasilitas mewah, melainkan dari kerja nyata, integritas, dan keberpihakan pada rakyat. Kenaikan anggaran bisa menjadi langkah progresif jika digunakan untuk memperkuat fungsi representasi dan pelayanan publik. Namun tanpa transparansi dan akuntabilitas, kebijakan ini hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan.

Kenaikan anggaran DPR tahun 2025 bukan semata soal fiskal, tetapi ujian moral bagi demokrasi Indonesia. Ia menguji apakah kekuasaan dijalankan dengan tanggung jawab, atau sekadar menjadi simbol kemewahan institusional.

Di tengah krisis kepercayaan dan kesenjangan sosial yang masih menganga, DPR dihadapkan pada pilihan fundamental: menjadikan anggaran sebagai instrumen penguatan demokrasi, atau sekadar mempertebal dinding pemisah antara rakyat dan wakilnya.

Karena sejatinya, politik anggaran yang berpihak kepada rakyat bukan tentang angka, tetapi tentang moralitas dalam bernegara.

Penulis: Silvi Sevila
Mahasiswa semester 1 Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA