Multikulturalisme: Jalan Politik untuk Merawat Indonesia yang Beragam

waktu baca 3 minutes
Sabtu, 18 Okt 2025 11:15 0 Nazwa

OPINI | TD — Indonesia bukan hanya sekadar negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Ia adalah “mosaik peradaban” yang tersusun dari lebih dari 1.300 suku bangsa, ratusan bahasa daerah, serta aneka agama dan kepercayaan. Di atas keragaman itulah berdiri sebuah bangsa besar yang menamakan dirinya Indonesia. Namun, di balik keindahan mozaik itu, tersimpan pula tantangan besar: bagaimana menjaga perbedaan agar tidak berubah menjadi perpecahan?

Inilah mengapa multikulturalisme menjadi lebih dari sekadar konsep budaya. Ia adalah paradigma sosial dan politik yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan berbangsa. Multikulturalisme mengajarkan kita untuk melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kekuatan yang memperkaya dan menguatkan.

Lebih dari Sekadar Slogan Bhinneka Tunggal Ika

Kita sering mendengar semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” — berbeda-beda tetapi tetap satu. Namun, pertanyaannya: apakah semangat itu masih benar-benar kita jalankan dalam kehidupan bernegara hari ini?
Faktanya, politik identitas masih sering digunakan untuk kepentingan elektoral. Perbedaan suku, agama, dan budaya kadang dijadikan alat untuk meraih suara, bukan untuk mempererat persaudaraan. Di sisi lain, masih ada kelompok masyarakat adat, minoritas agama, atau etnis tertentu yang belum mendapatkan akses pembangunan secara setara. Bahkan, intoleransi dan radikalisme masih sesekali muncul di ruang publik dan media sosial.

Semua itu menunjukkan bahwa Indonesia memang beragam, tetapi belum sepenuhnya multikultural dalam praktiknya. Kita masih sering terjebak pada keberagaman yang simbolik—sekadar diucapkan, tapi belum benar-benar dihidupi.

Multikulturalisme: Dari Nilai Budaya ke Paradigma Politik

Gus Dur pernah berkata, “Kebhinnekaan adalah rahmat, dan tugas kita adalah merawatnya agar menjadi kekuatan bangsa.” Kalimat ini mengandung pesan mendalam: perbedaan tidak cukup hanya diterima, tapi harus dikelola dengan bijak dalam kebijakan sosial dan politik.

Menjadikan multikulturalisme sebagai paradigma politik berarti memastikan bahwa setiap kebijakan publik lahir dari semangat inklusif dan kesetaraan. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Pendidikan multikultural di sekolah dan kampus. Anak-anak muda harus diajarkan untuk memahami dan menghargai perbedaan sejak dini, bukan menakutinya.

Kebijakan afirmatif bagi kelompok rentan. Masyarakat adat, kelompok minoritas, dan daerah tertinggal perlu diberi ruang dan dukungan agar tak tertinggal dalam pembangunan nasional.

Menolak eksploitasi identitas dalam politik praktis. Pemilu seharusnya menjadi ajang adu gagasan, bukan adu agama, suku, atau simbol-simbol kesukuan.

Membangun ruang dialog lintas budaya dan agama secara berkelanjutan. Dialog adalah jembatan yang menghubungkan perbedaan menjadi kekuatan bersama.

Dengan langkah-langkah itu, politik tidak lagi semata tentang perebutan kekuasaan, tapi tentang bagaimana kekuasaan digunakan untuk merawat keberagaman.

Mengubah Gesekan Menjadi Energi Persatuan

Perbedaan akan selalu ada—dan itu wajar. Namun, yang menentukan arah bangsa ini bukan keberbedaannya, melainkan cara kita mengelolanya. Jika perbedaan disikapi dengan curiga dan kebencian, maka ia menjadi bara konflik. Tetapi jika dikelola dengan paradigma multikultural, ia justru menjadi sumber energi kreatif untuk memperkuat persatuan.

Indonesia tidak akan pernah bisa berdiri di atas satu identitas tunggal. Justru kekuatannya terletak pada kemampuannya untuk merangkul semua identitas tanpa menghapus yang lain. Dalam konteks inilah, politik Indonesia harus belajar dari filosofi Gus Dur: merawat kebhinnekaan bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga strategi politik untuk memastikan bangsa ini tetap kokoh di tengah arus globalisasi dan konflik identitas.

Penutup: Multikulturalisme sebagai Jalan Masa Depan

Multikulturalisme adalah satu-satunya jalan agar Indonesia tetap utuh dan berdaulat di tengah dunia yang semakin terpolarisasi. Ia bukan sekadar teori di ruang akademik, melainkan kompas moral dan politik bagi seluruh elemen bangsa.
Kita boleh berbeda suku, agama, atau keyakinan — tapi di atas semua itu, kita adalah warga negara Indonesia yang memiliki tanggung jawab yang sama: menjaga rumah besar kita agar tetap berdiri, damai, dan berkeadilan.

Karena pada akhirnya, Indonesia hanya akan kuat jika setiap perbedaan dijadikan dasar untuk saling menghormati, bukan saling menyingkirkan.

Penulis: Kaeza Yuen Rafliandra
Mahasiswa Semester 1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA