OPINI | TD — Indonesia sering disebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, di balik kemegahan pesta demokrasi setiap lima tahun, ada paradoks yang menyakitkan: kekuasaan politik justru dikuasai oleh segelintir elite partai. Fenomena ini bukan sekadar krisis moral politik, melainkan bentuk anarkisme modern — kekacauan yang tidak menimbulkan kerusuhan di jalanan, tapi terjadi di dalam sistem kekuasaan itu sendiri.
Aturan demokrasi memang masih ada, namun maknanya telah direduksi menjadi sekadar formalitas. Partai politik yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat kini lebih mirip “kerajaan kecil” yang dikendalikan oleh ketua umum dan lingkaran terdekatnya. Dalam struktur inilah oligarki bersembunyi di balik bendera partai, menggerogoti demokrasi secara perlahan namun pasti.
Secara teori, anarkisme diartikan sebagai situasi tanpa aturan atau otoritas yang sah. Namun dalam konteks politik Indonesia, anarkisme hadir dalam bentuk yang lebih halus — ketika aturan tetap ada, tetapi dijalankan untuk kepentingan elite.
Kekuasaan di banyak partai politik saat ini tidak lagi berdasarkan meritokrasi, melainkan loyalitas dan kedekatan. Musyawarah dan rapat hanya menjadi simbol, bukan mekanisme partisipatif yang nyata. Para kader di tingkat bawah sekadar menjadi “alat” untuk mengumpulkan suara, bukan bagian dari proses pengambilan keputusan.
Lebih parah lagi, praktik money politics dan politik dinasti menjadi hal lumrah. Kandidat yang maju sering kali bukan yang paling berkompeten, melainkan yang paling kuat secara finansial atau memiliki hubungan keluarga dengan penguasa partai. Dalam situasi ini, demokrasi internal partai nyaris mati suri, dan kepercayaan publik terhadap sistem politik pun ikut terkikis.
Apa jadinya demokrasi ketika rakyat tak lagi punya kendali terhadap partai yang seharusnya mewakili mereka? Jawabannya: demokrasi yang hidup hanya di atas kertas. Pemilu tetap berjalan, kampanye tetap ramai, tapi semuanya hanya seremonial.
Rakyat semakin apatis. Mereka melihat politik sebagai panggung sandiwara — di mana tokohnya sama, skenarionya serupa, dan hasilnya bisa ditebak. Ketika rakyat berhenti percaya, demokrasi kehilangan ruhnya. Dan di situlah anarkisme politik mulai bekerja: kekuasaan tampak teratur, tapi sebenarnya kacau karena tak lagi berpihak pada rakyat.
Jika kita ingin demokrasi Indonesia benar-benar hidup, pembaruan partai politik harus menjadi prioritas utama. Ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan:
Oligarki partai politik adalah anarkisme berjas rapi — tidak gaduh, tapi berbahaya. Ia bekerja dengan cara mereduksi makna demokrasi menjadi sekadar prosedur. Tidak ada kerusuhan, tidak ada kudeta, tapi sistem perlahan kehilangan akal sehatnya.
Partai politik seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan, bukan menara gading yang hanya menguntungkan lingkaran kecil elite. Bila oligarki terus dipelihara, maka demokrasi hanya akan menjadi ritual lima tahunan tanpa jiwa, tanpa arah, dan tanpa harapan.
Menurut penulis, oligarki partai politik adalah bentuk anarkisme paling berbahaya karena menghancurkan sistem dari dalam tanpa disadari rakyat. Demokrasi tidak perlu kudeta untuk runtuh; cukup dengan segelintir elite yang memonopoli kekuasaan dan memanipulasi aturan.
Akar masalahnya terletak pada budaya politik yang paternalistik — rakyat lebih percaya pada figur daripada sistem. Perubahan hanya bisa terjadi jika rakyat menolak tunduk pada figur dan mulai menuntut akuntabilitas dari institusi.
Rakyat harus merebut kembali partai politik dari tangan oligarki. Caranya bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kesadaran, partisipasi, dan keberanian untuk berkata: “Partai ini milik rakyat, bukan milik elite.”
Selama partai masih dikuasai oleh segelintir orang, demokrasi akan terus hidup dalam kepalsuan. Dan selama rakyat diam, anarkisme berjas rapi itu akan terus berjalan — tenang, elegan, tapi mematikan.
Penulis : Januar Miftakhul Khoir
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)