OPINI | TD — Demokrasi sering dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik karena menjanjikan kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan kebebasan politik. Dalam idealismenya, demokrasi berjalan dari, oleh, dan untuk rakyat. Namun, di Indonesia, cita-cita itu kerap berjarak dengan kenyataan. Demokrasi yang seharusnya menjadi wadah partisipasi rakyat justru kian tampak seperti panggung yang dikendalikan oleh segelintir elit politik dan ekonomi. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “ilusi demokrasi” — ketika rakyat seolah berdaulat, tetapi kekuasaan sesungguhnya tetap berada di tangan yang sama.
Secara prosedural, demokrasi di Indonesia tampak berjalan normal: ada pemilu, partai politik, dan parlemen yang mewakili rakyat. Namun, secara substansial, banyak dari mekanisme tersebut telah kehilangan makna sejatinya. Demokrasi yang idealnya menjamin kesetaraan dan keadilan politik kini cenderung dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingan elit.
Istilah “ilusi demokrasi” menggambarkan kondisi di mana proses demokrasi memang ada secara formal, tetapi esensinya telah terkikis. Rakyat diberi hak untuk memilih, namun pilihan mereka dibatasi oleh struktur politik dan ekonomi yang timpang. Kondisi ini sejalan dengan pandangan Bucar dan Kovač dalam kajian “Reality and the Illusion of Democracy,” yang menyoroti kontradiksi antara idealisme demokrasi dan praktik kekuasaan yang sarat kepentingan.
Salah satu penyebab utama munculnya ilusi demokrasi adalah dominasi elit politik dan ekonomi. Para pemilik modal besar memiliki pengaruh signifikan terhadap partai politik, media, dan kebijakan publik. Pendanaan politik yang tidak transparan membuat keputusan politik sering kali berpihak pada kepentingan ekonomi, bukan pada kebutuhan rakyat.
Dalam konteks kapitalisme global, demokrasi sering kali menjadi alat legitimasi bagi kepentingan korporasi. Alih-alih memperkuat kedaulatan rakyat, sistem ini justru melanggengkan ketimpangan sosial dan politik. Akibatnya, demokrasi Indonesia tampak hidup, tetapi sesungguhnya dikendalikan oleh jaringan oligarki yang kuat.
Media seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, namun dalam praktiknya, media sering terjebak dalam kepentingan pemilik modal dan kekuasaan politik. Melalui teknik framing, propaganda, hingga penyaringan informasi, media dapat menciptakan persepsi palsu bahwa masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan politik.
Noam Chomsky menyebut fenomena ini sebagai “necessary illusions” — ilusi yang sengaja diciptakan untuk menjaga legitimasi kekuasaan. Di era digital, media sosial memperluas medan manipulasi ini melalui misinformasi, disinformasi, dan keberadaan buzzer politik yang mengarahkan opini publik sesuai kepentingan pihak tertentu.
Pemilu adalah simbol utama demokrasi, tetapi di Indonesia, keadilan dalam proses elektoral sering kali dipertanyakan. Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang tinggi membuat suara partai kecil tidak terwakili, sehingga mempersempit pluralitas politik. Selain itu, praktik politik uang, penyalahgunaan birokrasi, dan manipulasi distrik pemilihan masih menjadi masalah yang menggerogoti kepercayaan publik.
Kondisi ini menjadikan demokrasi hanya tampak sebagai ritual lima tahunan tanpa jaminan adanya pemerataan kekuasaan. Rakyat memang ikut memilih, tetapi hasil akhirnya sering kali sudah diarahkan oleh kekuatan modal dan pengaruh politik tertentu.
Rendahnya literasi politik dan keterbatasan akses terhadap informasi akurat turut memperkuat ilusi demokrasi. Banyak warga yang tidak memiliki kemampuan kritis untuk menilai kebijakan atau calon pemimpin secara objektif. Partisipasi mereka berhenti pada tahap memilih, tanpa diikuti pengawasan dan keterlibatan dalam proses politik setelahnya.
Kondisi ini menimbulkan bentuk partisipasi semu — rakyat tampak ikut serta, tetapi sebenarnya tidak berdaya untuk memengaruhi arah kebijakan secara signifikan.
Untuk mengembalikan makna sejati demokrasi, perlu dilakukan langkah-langkah konkret dan berkelanjutan:
Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang pemilu yang berlangsung damai, tetapi juga tentang seberapa besar rakyat benar-benar memiliki kendali terhadap arah kebijakan negara.
Ilusi demokrasi di Indonesia adalah kenyataan yang sulit diabaikan. Di balik jargon “kedaulatan rakyat”, kekuasaan masih terpusat pada elit yang memiliki akses ekonomi dan politik yang kuat. Rakyat memang hadir dalam proses demokrasi, namun sering kali hanya sebagai penonton, bukan aktor utama.
Untuk menjadikan demokrasi lebih substansial, Indonesia harus berani menembus tirai ilusi itu—dengan menegakkan transparansi, memperluas partisipasi publik, dan mengembalikan makna sejati bahwa kekuasaan sejatinya ada di tangan rakyat.
Penulis: Naja Kamilah
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)