OPINI | TD — Pembatasan media sosial bukan sekadar masalah teknis, melainkan ancaman nyata bagi kebebasan digital dan kualitas demokrasi. Di era ketika ruang publik banyak bergeser ke ranah online, media sosial menjadi sarana utama masyarakat untuk menyuarakan pendapat, mengkritisi kebijakan, hingga berpartisipasi dalam politik. Namun, ketika akses ke platform digital dibatasi, hak warga untuk berekspresi ikut tergerus, kepercayaan terhadap pemerintah melemah, dan legitimasi demokrasi dipertaruhkan.
Akhir Agustus 2025 menjadi momen yang menyadarkan banyak orang akan rapuhnya kebebasan digital. Ribuan massa turun ke jalan menolak kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, namun demonstrasi itu berakhir tragis ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, kehilangan nyawanya setelah terlindas mobil Brimob.
Di saat bersamaan, koneksi internet melambat dan akses media sosial terbatas. Publik kesulitan mengunggah story, siaran langsung, atau menyebarkan informasi. Pertanyaan pun muncul: apakah suara rakyat sengaja dibungkam?
Kementerian Komunikasi dan Digital membantah adanya pembatasan, tetapi keresahan publik tidak serta-merta hilang. Faktanya, gangguan digital terbukti menghambat komunikasi, mempersempit ruang kritik, dan memunculkan kecurigaan terhadap transparansi pemerintah.
Alasan yang sering dipakai pemerintah untuk membatasi media sosial adalah demi keamanan dan mencegah hoaks. Namun, dampaknya justru jauh lebih luas. Ketika ruang kritik dipersempit, rakyat kehilangan kesempatan menyampaikan aspirasi. Partisipasi politik pun terhambat.
Keadilan dalam demokrasi tidak hanya berarti perlakuan sama di hadapan hukum, tetapi juga kesetaraan kesempatan untuk bersuara. Pembatasan media sosial mengikis prinsip itu.
Dari perspektif keamanan, kebijakan ini kontraproduktif. Gangguan komunikasi bisa memperlambat respons dalam situasi darurat, menyulitkan penyebaran informasi penting, bahkan memicu kesalahpahaman massal. Bukannya menambah rasa aman, justru ketidakpercayaan masyarakat semakin besar dan potensi konflik meningkat.
Pembatasan media sosial membuka mata kita bahwa demokrasi digital Indonesia menghadapi tantangan serius:
Baik, saya tambahkan kalimat penutup yang lebih retoris dan tajam agar artikel opini ini memberi “pukulan akhir” yang menggugah pembaca:
Pembatasan media sosial adalah ancaman serius bagi kebebasan digital sekaligus ujian bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi tidak akan sehat jika rakyat tidak memiliki ruang aman untuk bersuara.
Menjaga keseimbangan antara keamanan dan kebebasan berekspresi bukan hanya urusan teknis, tetapi cermin kualitas demokrasi. Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hukum atas hak digital, pembatasan media sosial hanya akan memperlebar jurang antara rakyat dan pemerintah.
Hanya dengan kebebasan digital yang dijamin secara adil, masyarakat dapat benar-benar didengar dan berpartisipasi aktif dalam menentukan masa depan politik bangsa. Jika pemerintah terus memilih jalan pembatasan, maka demokrasi kita hanya akan tinggal nama—sebuah papan kosong tanpa suara rakyat di dalamnya.
Penulis: Safa Azalia, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)