Perampasan Tanah Atas Nama Investasi

waktu baca 4 minutes
Sabtu, 4 Okt 2025 08:53 0 Nazwa

OPINI | TD — Janji pembangunan dan investasi kerap dikemas sebagai jalan menuju kesejahteraan. Namun, di lapangan, janji itu justru berubah menjadi ancaman nyata bagi masyarakat adat, petani kecil, dan penjaga ruang hidup. Kasus di Raja Ampat, konsesi nikel, ekspansi sawit, PIK 2, hingga proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) memperlihatkan wajah lain pembangunan: perampasan tanah atas nama investasi.

PIK 2: Krisis Baru di Tangerang

Di Tangerang, proyek reklamasi dan pembangunan PIK 2 menghadirkan wajah modernisasi yang gemerlap, tetapi menyimpan polemik serius. Warga pesisir menolak karena ruang hidup mereka dirampas. Lahan pertanian dan wilayah tangkapan nelayan perlahan tergusur demi kepentingan investasi, sementara kompensasi yang dijanjikan sering kali tidak sebanding dengan kerugian yang dialami.

Bagi masyarakat sekitar, PIK 2 bukan sekadar proyek properti, melainkan simbol krisis baru: hilangnya tanah, identitas, dan hak hidup di negeri sendiri. Secara ekonomi, janji investasi yang diagungkan pengembang tidak pernah sebanding dengan kenyataan. Harga tanah memang melonjak drastis, tetapi masyarakat lokal tidak mampu membeli atau mempertahankan lahannya. Keuntungan besar justru jatuh ke tangan pemilik modal dan spekulan tanah, sementara warga Pakuhaji hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri.

Penolakan warga terhadap PIK 2 seharusnya tidak dipandang sebagai hambatan pembangunan, melainkan alarm keras bahwa ada ketidakadilan yang harus segera diselesaikan. Pembangunan sejati hanya bisa disebut berhasil bila masyarakat yang terdampak dilibatkan, dilindungi, dan diuntungkan. Tanpa itu, yang tersisa hanyalah luka sosial dan kerusakan lingkungan.

Tambang Nikel di Raja Ampat: Regulasi yang Tak Tegas

Raja Ampat seharusnya dikenal karena keindahan lautnya, bukan karena tambang yang merusak pulau kecil. WALHI Papua mencatat, ratusan hektare lahan telah rusak akibat konsesi tambang. Meski pemerintah sempat mencabut sejumlah izin, ironisnya PT Gag Nikel tetap diberi ruang untuk beroperasi—padahal regulasi jelas melarang tambang di wilayah pulau kecil yang rentan.

Pertanyaan pun muncul: keberpihakan pemerintah ada di mana, pada rakyat atau pada pemodal?

Sawit dan IKN: Ruang Hidup yang Menyempit

Kalimantan kini jadi pusat perhatian karena pembangunan IKN, namun konflik lahan tidak bisa diabaikan. Ekspansi sawit dan pembukaan hutan secara masif menggerus hak masyarakat. Forest Watch Indonesia mencatat 20 ribu hektare hutan hilang dalam lima tahun terakhir di kawasan IKN.

Komunitas adat di Penajam Paser Utara kehilangan tanah, situs ritual, bahkan sumber air. Apa arti sebuah kota modern bila yang dikorbankan adalah identitas dan kelangsungan hidup komunitas lokal?

Suara Para Korban dan Aktor Sosial

Darmawi, tokoh adat Maridan, Penajam Paser Utara: “Wilayah adat Maridan memiliki sejarah tersendiri bagi komunitas… tiba-tiba di tempat itu sudah ada plang lahan Mabes Polri.

Yati Dahlia, komunitas Balik Sepaku: kehilangan lahan pertanian dan akses air bersih. “Sungai yang dulu menjadi sumber air utama telah berubah menjadi tanggul… sumur yang kami gali pun menghasilkan air yang tidak layak konsumsi.

AMAN, WALHI, PB PMII menyerukan agar pemerintah menghentikan model pembangunan eksploitatif yang hanya menguntungkan investor besar, sementara masyarakat lokal yang harus menanggung kerugian.

HGU 190 Tahun: Janji Keadilan yang Pincang

Peraturan IKN yang memberi Hak Guna Usaha hingga 190 tahun bagi investor adalah potret nyata keberpihakan negara pada modal. Masyarakat adat yang telah menjaga tanahnya turun-temurun tidak memiliki sertifikat formal, sehingga mudah disingkirkan. Sebaliknya, investor asing maupun domestik menikmati kepastian hukum hampir dua abad lamanya. Kontras yang menyakitkan.

Krisis Identitas, Bukan Sekadar Krisis Lahan

Perampasan tanah bukan sekadar konflik agraria, tetapi krisis identitas bangsa. Hilangnya tanah adat berarti hilangnya situs budaya, makam leluhur, bahkan memori kolektif yang tak ternilai. Ketika masyarakat hanya dianggap objek pembangunan, maka kita sedang menyaksikan pola kolonialisme baru di mana “pembangunan” hanyalah topeng bagi eksploitasi.

Panggilan untuk Perubahan

Pembangunan yang diklaim membawa kemajuan sering kali menyisakan luka bagi mereka yang kehilangan tanah dan ruang hidup. Jika negara terus berpihak pada modal dan mengabaikan suara rakyat, yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan krisis kepercayaan, krisis lingkungan, dan krisis kemanusiaan.

Karena itu, pemerintah harus:

  • Mengakui dan melindungi tanah adat melalui rekognisi formal.
  • Membuka data izin usaha secara transparan.
  • Memberikan kompensasi yang layak, tidak hanya berdasarkan hitungan ekonomi.
  • Melibatkan masyarakat adat dalam setiap tahap pembangunan.

Tanpa prinsip keadilan, pembangunan hanya akan meninggalkan monumen ketidakadilan. Dan sejarah akan mencatat: negara pernah berpihak bukan pada rakyatnya, melainkan pada modal yang merampas.

Penulis: Ismia Putri, mahasiswa semester 1 mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)

LAINNYA