Netralitas TNI-Polri pada Pemilu 2024: Antara Komitmen dan Realitas

waktu baca 3 minutes
Sabtu, 4 Okt 2025 08:39 0 Nazwa

OPINI | TD — Pemilu 2024 menjadi salah satu pesta demokrasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Lebih dari 204 juta pemilih berpartisipasi, menghasilkan kemenangan pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka dengan 58,6 persen suara. Suasana pemilu relatif damai, namun ada isu krusial yang terus bergema: netralitas TNI dan Polri.

Sebagai institusi yang memegang mandat menjaga keamanan, TNI-Polri dituntut menjaga jarak dari politik praktis. Netralitas mereka bukan sekadar etika, tetapi amanat undang-undang. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI melarang prajurit terlibat dalam politik praktis. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menegaskan anggota Polri harus bersikap netral dan tidak menggunakan hak pilih maupun dipilih. Bawaslu memperkuat regulasi ini melalui Peraturan Nomor 6 Tahun 2018 yang melarang aparat menggunakan fasilitas negara atau terlibat kampanye.

Komitmen yang Tegas di Atas Kertas

Menjelang pemilu, komitmen netralitas terus ditegaskan. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-01/2024 berisi lima larangan utama, mulai dari tidak memihak pasangan calon hingga larangan meminjamkan fasilitas negara. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga membentuk Gugus Tugas Netralitas Polri di 34 provinsi untuk memperketat pengawasan.

Komitmen ini serius. Bawaslu bahkan mendapat alokasi Rp 500 miliar dari APBN untuk mengawasi netralitas aparat (Kemenkeu, 2024). Sosialisasi pun digencarkan hingga ke level daerah, melalui akademi militer dan kepolisian, agar pesan netralitas benar-benar terserap sampai akar rumput.

Realitas di Lapangan: Baik, Tapi Belum Sempurna

Secara umum, TNI-Polri berhasil menjaga stabilitas selama kampanye, pemungutan suara, hingga penghitungan. Data Bawaslu menunjukkan dari 10.214 laporan pelanggaran netralitas, hanya 6 persen melibatkan TNI-Polri, jauh lebih rendah dibanding ASN yang mencapai 80 persen (Bawaslu, 2024).

Meski demikian, masih ada celah. Misalnya, anggota Polri di Sulawesi Selatan dipecat karena unggahan kampanye di media sosial, aparat yang hadir di acara politik di Lampung, hingga tudingan keterlibatan aparat lokal dalam mobilisasi massa. Walaupun jumlahnya kecil, kasus-kasus semacam ini cukup untuk memunculkan keraguan publik.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Juli 2024 menunjukkan 32 persen responden masih meragukan netralitas aparat. Ini berarti meskipun pelanggaran faktual relatif kecil, persepsi publik belum sepenuhnya pulih.

Kenapa Netralitas Masih Rentan?

Ada beberapa penyebab mengapa netralitas aparat belum sepenuhnya kokoh:

  • Tekanan elite politik daerah, yang kerap memanfaatkan kedekatan personal dengan aparat.
  • Pola organisasi hierarkis, sehingga arahan atasan—meski tidak resmi—tetap berpengaruh.
  • Keterbatasan pengawasan di daerah terpencil, misalnya Papua, membuat kontrol tidak maksimal.

Di sisi lain, ada faktor pendukung yang menjaga netralitas: pengawasan Bawaslu, peran media massa, dan disiplin internal TNI-Polri. Inilah yang membuat mayoritas aparat tetap profesional.

Implikasi bagi Demokrasi

Netralitas TNI-Polri yang relatif terjaga berdampak positif pada keamanan pemilu. Tidak ada intervensi masif yang terbukti, bahkan Mahkamah Konstitusi mengakui hal tersebut dalam sidang sengketa hasil. Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi, yakni 81,45 persen, menjadi bukti kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi (KPU, 2024).

Namun, keraguan publik tetap berbahaya jika dibiarkan. Ketidakpercayaan bisa memicu apatisme politik atau memperparah polarisasi. Freedom House (2024) bahkan mencatat potensi penurunan skor demokrasi Indonesia sebagian karena menurunnya kepercayaan terhadap institusi negara.

Strategi ke Depan

Untuk memperkuat netralitas TNI-Polri pada pemilu mendatang, ada beberapa langkah penting:

  1. Perkuat pengawasan eksternal. Bawaslu perlu memperluas koordinasi dengan KASN dan Komnas HAM.
  2. Reformasi internal. TNI-Polri harus meningkatkan pelatihan etika serta simulasi menghadapi tekanan politik.
  3. Sanksi progresif. Penegakan disiplin harus tegas dan konsisten, dari teguran hingga pemecatan.
  4. Keterlibatan publik. Mekanisme pelaporan masyarakat harus diperkuat, dengan jaminan perlindungan bagi pelapor.

Kesimpulan

Netralitas TNI-Polri adalah fondasi demokrasi Indonesia. Regulasi sudah kuat, implementasi cukup baik, tetapi celah di lapangan masih ada. Tantangan terbesar bukan hanya memastikan aparat benar-benar netral, tetapi juga membangun kepercayaan publik.

Dalam demokrasi, netralitas aparat tidak cukup sebatas “tidak berpihak.” Mereka juga harus tampak jelas berdiri di tengah, menjadi penjaga demokrasi yang dipercaya semua pihak.

Penulis: Syfa Nahya Hadiri, Mahasiswa Semester 1, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA