OPINI | TD — Demo besar-besaran yang berlangsung baru-baru ini memperlihatkan satu pesan jelas: rakyat, khususnya generasi muda, semakin muak dengan DPR. Kekecewaan ini bukan lahir tiba-tiba, melainkan akumulasi dari janji-janji kosong, kinerja yang minim, dan gaya hidup mewah para wakil rakyat yang jauh dari realitas sehari-hari rakyat kecil. Suara Gen Z pun makin nyaring terdengar, menuntut DPR kembali ke jalur semula: bekerja untuk rakyat, bukan untuk kantong pribadi.
Turunnya massa ke jalan adalah simbol bahwa kesabaran rakyat sudah habis. DPR, yang seharusnya menjadi wadah aspirasi publik, kini justru sering dianggap pengkhianat rakyat. Saat masyarakat memperjuangkan harga kebutuhan pokok, pendidikan murah, layanan kesehatan layak, dan lapangan kerja yang memadai, DPR justru disibukkan dengan kenaikan tunjangan, fasilitas baru, dan gaji yang fantastis.
Dalam berbagai aksi, rakyat menuntut hal-hal mendasar:
Namun, tuntutan ini berkali-kali hanya menjadi headline sesaat, tanpa tindak lanjut nyata.
Sementara rakyat harus antre panjang di rumah sakit BPJS dan berjuang membayar biaya sekolah, DPR justru tenggelam dalam fasilitas mewah. Mobil dinas, rumah dinas, asuransi kesehatan premium, hingga pensiun seumur hidup mereka nikmati tanpa beban. Ironinya, banyak anggota DPR terseret kasus korupsi, suap, hingga jual beli kursi, mempertegas pandangan bahwa kesejahteraan mereka bukan hasil kinerja, melainkan hasil memanfaatkan jabatan.
Jarak antara rakyat dan DPR semakin lebar. Di jalanan, rakyat berteriak soal harga sembako dan pendidikan. Di Senayan, DPR membicarakan gaji, tunjangan, dan fasilitas mewah. Inilah ironi yang membuat rakyat muak—keadilan sosial hanya jadi slogan, sementara kenyataan berbicara sebaliknya.
Aksi rakyat bukan hanya tentang protes, tetapi juga menawarkan solusi: hentikan kenaikan gaji sebelum kinerja terbukti, buka transparansi anggaran, tindak tegas korupsi tanpa pandang bulu, dan libatkan rakyat dalam pembahasan undang-undang.
Sebagai generasi Z, saya muak bukan karena isu politik di media semata, melainkan karena dampaknya nyata. Biaya sekolah mahal, harga kebutuhan naik, internet masih mahal di banyak daerah, sementara wakil rakyat sibuk memperdebatkan tunjangan dan fasilitas yang tak menyentuh kehidupan kami.
Jika DPR terus seperti ini, jangan heran bila Gen Z makin skeptis pada politik. Suara digital yang dianggap remeh bisa berubah menjadi gelombang besar. Kami tidak menuntut DPR jadi superhero, cukup kembali ke fungsi utamanya: bekerja untuk rakyat. Karena sejatinya, di negeri ini, rakyatlah bos yang sebenarnya—bukan DPR.
Penulis: Nada Nurshifa, Mahasiswa Semester 1 Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)