Janji vs Realita Pemerintahan Prabowo-Gibran: Evaluasi Setahun Pasca Pemilu 2024

waktu baca 4 minutes
Jumat, 3 Okt 2025 16:38 0 Nazwa

OPINI | TD — Setahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka berjalan setelah meraih kemenangan besar pada Pemilu 2024. Kemenangan dengan perolehan suara 58,6 persen itu dibangun atas janji-janji politik ambisius: program makan siang gratis untuk anak sekolah, pendidikan gratis tanpa biaya tersembunyi, serta pemerintahan bersih dari korupsi. Namun, setelah setahun berjalannya roda pemerintahan, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana janji kampanye tersebut benar-benar diwujudkan, dan di mana letak kesenjangan antara retorika dan realita?

Janji Politik sebagai Kontrak Sosial

Dalam teori politik, janji kampanye dipandang sebagai kontrak sosial antara kandidat dan pemilih. Miriam Budiardjo (2010) menyebut janji politik sebagai instrumen legitimasi: ketika ditepati, legitimasi meningkat; ketika diingkari, kepercayaan publik terkikis. Robert Dahl (1998) menegaskan, demokrasi substantif hanya hadir bila pemerintah menjalankan kebijakan sesuai aspirasi rakyat, bukan sekadar memenangkan kontestasi elektoral.

Karena itu, menilai janji politik setahun pasca Pemilu 2024 bukan sekadar hitungan teknis, tetapi uji konsistensi demokrasi Indonesia itu sendiri.

Ekonomi dan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Pada tahun pertama, ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen pada triwulan II-2025 menurut BPS, menunjukkan ketahanan di tengah gejolak global. Namun, sorotan utama justru tertuju pada program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dari janji Rp450 triliun untuk 80 juta anak, hingga September 2025 program baru menyentuh 3 juta penerima di 26 provinsi. Target akhir tahun hanya 17 juta anak, jauh di bawah janji awal. RAPBN 2025 pun hanya mengalokasikan Rp71 triliun, menimbulkan keraguan terhadap konsistensi dan keberlanjutan program. Inflasi tahunan Agustus 2025 tercatat 2,31 persen, dengan harga beras naik 0,73 persen—sinyal adanya tekanan pasok dari implementasi MBG.

Pendidikan: Antara Akses Gratis dan Beban Tersembunyi

Pemerintah memperluas Kartu Indonesia Pintar (KIP) hingga 20 juta penerima pada 2025. Namun, biaya tersembunyi—seragam, transportasi, dan kegiatan ekstrakurikuler—masih menjadi beban, terutama bagi keluarga miskin. Survei BPS 2025 mencatat 40 persen orang tua di pedesaan merasa terbebani biaya sekolah.

Di Indonesia Timur, angka partisipasi sekolah hanya 70 persen, jauh tertinggal dibandingkan Jawa (95 persen). Stunting memang turun dari 24,4 persen menjadi 21,6 persen, tetapi keterbatasan MBG membuat dampak nyata di daerah tertinggal belum signifikan.

Korupsi: Antara Digitalisasi dan Elite yang Kebal Hukum

Janji pemerintahan bersih dijawab dengan digitalisasi dan penguatan KPK. Data KPK mencatat penurunan kasus kecil melalui e-procurement, dengan 15 persen kasus terdeteksi dini pada 2025. Namun, kasus besar masih terjadi, termasuk dugaan korupsi proyek infrastruktur Rp100 miliar di Kementerian PUPR.

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia 2024 stagnan di angka 34, peringkat 110 dunia, tanpa perbaikan signifikan di 2025. Elite politik masih sulit disentuh hukum, memperlihatkan bahwa janji pemerintahan bersih belum sepenuhnya terealisasi.

Analisis Struktural: Pola yang Berulang

Keterbatasan implementasi bukan hanya soal teknis, melainkan masalah struktural. Realokasi anggaran, kapasitas birokrasi, dan kesenjangan wilayah menjadi hambatan utama. Partisipasi UMKM dalam rantai pasok MBG baru 20 persen, jauh dari janji pemberdayaan lokal.

Preseden historis menunjukkan pola berulang: Orde Baru dengan politik rente Bulog, era SBY dengan BLT yang distribusinya bermasalah, hingga Jokowi dengan berbagai “kartu” yang menghadapi disparitas birokrasi. Dengan demikian, jurang janji-realita lintas rezim adalah gejala struktural demokrasi Indonesia.

Dampak Politik dan Respon Publik

  • Ekonomi: meski PDB tumbuh, inflasi menambah beban masyarakat desa, dengan kemiskinan naik 0,5 persen pada 2025.
  • Pendidikan: akses meningkat, tetapi kekecewaan atas biaya tersembunyi memicu apatisme politik di kalangan muda; 35 persen pemuda meragukan efektivitas demokrasi (Indikator Politik 2025).
  • Korupsi: transparansi digital sedikit meningkatkan kepercayaan, tetapi kasus besar menurunkan legitimasi, dengan tingkat kepercayaan publik stagnan di kisaran 55 persen (LSI).

Media arus utama menilai MBG lebih sebagai alat konsolidasi politik ketimbang solusi struktural. Kritik akademisi, seperti Arief Anshory Yusuf dari UI, menyoroti potensi kenaikan utang negara 2 persen PDB. Bahkan, petisi daring dengan 500 ribu tanda tangan menuntut audit MBG menandakan publik semakin kritis.

Kesimpulan

Setahun pasca Pemilu 2024, janji-janji kampanye pemerintahan Prabowo–Gibran masih banyak yang belum sejalan dengan realita. Kesenjangan ini menguji legitimasi demokrasi sekaligus kesabaran publik.

Pemerintah masih punya waktu untuk membuktikan komitmen, tetapi tanpa koreksi serius—baik dalam ekonomi, pendidikan, maupun pemberantasan korupsi—jurang antara janji dan realita hanya akan semakin lebar.

Penulis: Aurellia Syafira Wagiu, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)

LAINNYA