OPINI | TD — Kepercayaan publik terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tengah menghadapi ujian besar. Berbagai survei mencatat tren penurunan citra kepolisian, dipicu kasus-kasus pelanggaran hukum yang melibatkan oknum aparat serta lemahnya transparansi dalam penanganan. Kondisi ini memperlebar jurang ketidakpercayaan (trust deficit) yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial dan efektivitas penegakan hukum di Indonesia.
Gelombang ketidakpercayaan publik kian memuncak setelah serangkaian kasus besar yang mengguncang institusi Polri. Mulai dari kasus pembunuhan berencana yang melibatkan Ferdy Sambo, Tragedi Kanjuruhan yang menelan ratusan korban jiwa, hingga insiden terbaru pada 28 Agustus 2025, ketika sebuah kendaraan taktis (rantis) Brimob menabrak dan menewaskan pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.
Bagi banyak pihak, peristiwa ini bukan lagi persoalan “oknum” semata, melainkan cerminan masalah sistemik dalam tubuh Polri. Seorang pengamat kepolisian bahkan menegaskan, “Ini bukan soal satu-dua apel busuk, tapi keraguan publik terhadap keranjangnya.” Fenomena “No Viral, No Justice” juga makin memperburuk citra, ketika masyarakat merasa laporan kejahatan hanya ditindaklanjuti setelah ramai di media sosial.
Data survei menegaskan krisis ini. Civil Society for Police Watch pada Februari 2025 mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri hanya 48,1%. Laporan Ipsos Global Trustworthiness Index juga menempatkan polisi di posisi ketiga profesi paling tidak dipercaya publik Indonesia, setelah politisi dan pejabat kementerian.
Meski demikian, Litbang Kompas pada Januari 2025 sempat mencatat citra positif Polri di angka 65,7%. Perbedaan signifikan ini menunjukkan betapa dinamisnya persepsi publik, yang sangat bergantung pada penanganan kasus dan komunikasi institusi. Namun, capaian tersebut tetap jauh dari puncak kepercayaan publik yang pernah diraih Polri sebelum serangkaian skandal besar mencuat.
Menghadapi krisis ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan komitmen bersih-bersih internal. Ia menekankan tiga langkah utama: penegakan hukum tanpa pandang bulu, penguatan pengawasan internal melalui Itwasum dan Propam, serta peningkatan transparansi penanganan kasus.
Namun, sejumlah pengamat menilai langkah ini harus lebih sistemik. Julius Ibrani, Ketua PBHI, menekankan bahwa reformasi Polri harus dilakukan secara konstitusional dan menyentuh akar masalah, bukan sekadar respons atas kasus yang viral.
Presiden Prabowo Subianto pun dalam Rapim TNI-Polri 2025 menegaskan pentingnya integritas aparat. “Ciri khas negara gagal adalah tentara dan polisi yang gagal. Kalau berani pakai pangkat jenderal, harus berani menyerahkan jiwa untuk rakyat,” tegasnya.
Masyarakat kini menunggu bukti nyata, bukan sekadar janji. Layanan di tingkat Polsek dan Polres, respons cepat atas laporan tanpa menunggu viral, serta konsistensi penegakan hukum menjadi kunci mengembalikan kepercayaan.
Tugas berat ini ada di pundak setiap anggota Polri. Jalan menuju pemulihan citra memang panjang dan terjal, namun pengakuan atas adanya krisis serta komitmen untuk berbenah bisa menjadi langkah awal penting dalam mengembalikan marwah kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Penulis: Rezha Rahmatullah, mahasiswa semester 1 Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)