OPINI | TD — Pada penghujung Agustus 2025, Indonesia diguncang gelombang protes nasional yang menyasar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selama empat hari, 28–31 Agustus, ribuan mahasiswa, buruh, LSM, dan masyarakat sipil turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap tunjangan fantastis yang diterima para wakil rakyat.
Kemarahan publik memuncak setelah tayangan Ironi Tunjangan Fantastis DPR viral di YouTube. Video tersebut menyoroti betapa besarnya fasilitas yang dinikmati anggota DPR—mulai dari tunjangan rumah dinas, kendaraan, komunikasi, hingga perjalanan dinas—dengan nilai mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan. Ironisnya, rakyat pada saat yang sama tengah menghadapi tekanan ekonomi: harga kebutuhan pokok melonjak, angka kemiskinan desa naik 0,5 persen pada pertengahan 2025 (BPS), dan inflasi bahan pangan menembus 2,31 persen. Kontras inilah yang kemudian melahirkan gelombang protes luas, menjadikan isu tunjangan DPR bukan sekadar persoalan administratif, melainkan problem moral, sosial, sekaligus politik.
Kesenjangan Sosial dan Ekonomi
Anggota DPR dengan gaji pokok Rp4,2 juta plus tunjangan hingga total lebih dari Rp70 juta per bulan, sangat timpang dengan kenyataan rakyat. Sebagai perbandingan, rata-rata UMR provinsi di Indonesia pada 2025 hanya Rp3–4 juta. Artinya, seorang anggota DPR menikmati penghasilan belasan kali lipat dari buruh atau pekerja biasa.
Kinerja Legislasi yang Rendah
Kritik publik bukan hanya pada besarnya tunjangan, tetapi juga pada relevansinya dengan kinerja DPR. Tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat penting masih rendah, sementara capaian legislasi jauh dari target Prolegnas.
Krisis Kepercayaan Publik
Transparansi anggaran DPR minim. Padahal, dalam sistem demokrasi, wakil rakyat dituntut tidak hanya representatif di kertas, tetapi juga akuntabel dalam praktik.
Media Sosial sebagai Pemicu
Media sosial menjadi kanal utama penyebaran isu. Tagar protes terhadap DPR sempat trending di Twitter/X dengan jutaan interaksi. Di TikTok, video kritik gaya hidup mewah politisi dibandingkan keluh kesah rakyat kecil dibagikan luas.
Aksi Massa
Demonstrasi berlangsung di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, hingga Makassar. Mahasiswa dan buruh membawa spanduk bertuliskan “Potong Tunjangan DPR, Alihkan untuk Pendidikan Rakyat.” Aksi ini menegaskan bahwa protes bukan sekadar soal uang, melainkan simbol ketidakadilan.
Kajian Akademisi dan Media
Tempo dan Kompas mengangkat isu ini sebagai editorial utama, menekankan perlunya reformasi tunjangan berbasis kinerja. Akademisi ilmu politik menilai, skema tunjangan DPR mencerminkan politik rente yang masih mengakar dalam demokrasi Indonesia.
Respons DPR
DPR berargumen bahwa tunjangan sesuai aturan. Namun, jawaban ini dianggap defensif karena tidak menjawab tuntutan moral publik: keadilan dan kesesuaian dengan kondisi rakyat.
Dampak Sosial
Protes menunjukkan kesadaran politik rakyat kian matang. Mereka kini berani mengkritik bukan hanya kebijakan pemerintah, tetapi juga parlemen. Namun, jika aspirasi diabaikan, ada risiko lahirnya apatisme politik atau bahkan populisme ekstrem.
Dampak Politik
Legitimasi DPR terancam. Krisis kepercayaan yang dibiarkan berlanjut bisa memengaruhi partisipasi pemilih pada Pemilu 2029, bahkan berpotensi memicu lahirnya gerakan politik alternatif di luar partai besar.
Fenomena protes tunjangan bukan hal baru. Pada 2017, publik menolak rencana DPR membangun gedung baru senilai Rp7,2 triliun. Pada 2021, kenaikan tunjangan komunikasi juga memicu kontroversi. Pola ini menunjukkan bahwa problem disparitas elite-rakyat terus berulang lintas periode tanpa solusi tuntas.
Transparansi Anggaran
Seluruh komponen tunjangan harus dipublikasikan rinci di situs resmi DPR agar rakyat bisa mengawasi langsung.
Reformasi Berbasis Kinerja
Pemberian tunjangan perlu didasarkan pada indikator jelas: tingkat kehadiran rapat, kontribusi legislasi, hingga pengawasan anggaran.
Audit Independen
BPK atau lembaga independen perlu melakukan audit berkala guna mencegah penyalahgunaan fasilitas.
Alokasi Ulang Anggaran
Sebagian anggaran tunjangan dialihkan untuk program prioritas rakyat, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, dan bantuan langsung.
Protes nasional terhadap tunjangan DPR pada Agustus 2025 menjadi sinyal keras bahwa kesabaran rakyat terhadap praktik politik rente telah habis. Isu ini bukan sekadar angka tunjangan, tetapi menyangkut moralitas, keadilan sosial, serta legitimasi lembaga legislatif.
DPR kini berada di persimpangan: terus menutup telinga hingga kehilangan legitimasi, atau menjadikan momentum ini sebagai titik balik reformasi. Jika reformasi dilakukan—dengan transparansi, akuntabilitas, dan kesesuaian anggaran dengan kebutuhan rakyat—DPR masih berpeluang memulihkan kepercayaan publik. Sebaliknya, jika diabaikan, krisis kepercayaan akan menjadi warisan politik yang sulit dipulihkan.
Penulis: Nayla Qurotunnisa, mahasiswa semester 1 mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)