OPINI | TD — Politik identitas di Indonesia bukanlah fenomena baru, melainkan bagian dari perjalanan panjang demokrasi bangsa yang plural. Sejarah menunjukkan bahwa politik berbasis agama, etnis, ras, dan budaya selalu hadir dalam dinamika kebangsaan. Namun, praktik ini menghadirkan paradoks: di satu sisi mampu memperjuangkan hak-hak kelompok rentan, tetapi di sisi lain berpotensi merusak persatuan dan kohesi sosial.
Politik identitas muncul seiring keberagaman masyarakat Indonesia yang multikultural. Sejak masa kolonial, telah terbentuk dua arus besar pemikiran politik:
Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto menekan ekspresi identitas partikular dengan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan homogenisasi ideologi tersebut membatasi ruang politik identitas selama lebih dari tiga dekade. Fakta ini menunjukkan bahwa politik identitas senantiasa menjadi bagian dari realitas sosial dan politik Indonesia.
Meski rawan konflik, politik identitas juga memiliki sisi konstruktif:
Contoh yang menonjol adalah Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno meraih kemenangan setelah mobilisasi politik identitas berbasis agama melalui Aksi 212.
Media, khususnya media sosial, memainkan peran sentral dalam menguatkan politik identitas. Platform seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok telah menjadi ruang kontestasi politik yang masif. Namun, media juga dituntut untuk:
– Menyajikan informasi yang berimbang.
– Menghindari pemberitaan provokatif.
– Mendorong dialog lintas kelompok untuk membangun pemahaman bersama.
Politik identitas di Indonesia adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Ia hadir sebagai bagian dari keberagaman bangsa, sekaligus tantangan bagi persatuan nasional. Politik identitas dapat menjadi perekat solidaritas, namun juga bisa menjadi sumber perpecahan. Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaimana bangsa ini mampu mengelola politik identitas agar tetap berada dalam koridor demokrasi yang sehat, dengan menjadikan pluralitas sebagai kekuatan, bukan kelemahan.
Penulis: Nasrun Juniarta, mahasiswa semester 1 mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)