Narasi Buzzer Politik: Ancaman Senyap bagi Demokrasi Indonesia di Era Digital

waktu baca 3 minutes
Kamis, 2 Okt 2025 16:17 0 Nazwa

OPINI | TD — Abad ke-21 di Indonesia semestinya menjadi era transparansi dan demokratisasi informasi. Namun, di tengah derasnya arus berita politik di media sosial, justru muncul fenomena paradoks: hadirnya buzzer politik sebagai aktor bayangan yang bekerja secara terstruktur. Mereka mampu mendisrupsi informasi, memanipulasi opini publik, bahkan menyebarkan ujaran kebencian dan fitnah. Kehadiran buzzer menjelma menjadi industri narasi yang berpotensi merusak prinsip akuntabilitas dan nilai demokrasi di Indonesia.

Membongkar narasi buzzer adalah tugas kolektif seluruh warga negara, terutama mahasiswa, untuk menjaga kredibilitas media sosial sebagai ruang publik yang sehat, baik saat ini maupun di masa depan.

Siapa di Balik ‘Kebisingan’ Digital?

Kehadiran buzzer politik di Indonesia bukanlah kebetulan. Awalnya, mereka digunakan sebagai “jalan pintas” bagi politisi untuk memperoleh simpati publik. Ada dua alasan utama mengapa fenomena ini berkembang pesat:

  • Media sosial sebagai arena kekuasaan politik.
    Platform digital memungkinkan politisi menjangkau publik secara langsung tanpa proses verifikasi media profesional. Di tengah kompetisi politik yang ketat, buzzer menjadi alat untuk menarik perhatian, menguasai percakapan, hingga menjadikan narasi tertentu trending topic.
  • Politisi ingin menang dengan cara cepat dan praktis.
    Sejak 2014, politik identitas semakin marak dan memicu polarisasi. Buzzer dimanfaatkan sebagai senjata instan: mendongkrak dukungan tanpa visi-misi yang jelas, bahkan menjatuhkan lawan politik melalui kampanye negatif.

Bagaimana Buzzer Mengendalikan Opini Publik?

Skemanya sederhana namun efektif. Elite politik menyediakan dana besar. Buzzer lalu merancang narasi sesuai kepentingan klien—mendukung atau menyerang lawan—dan menyebarkannya melalui akun pribadi, anonim, maupun jaringan terorganisir.

Strategi mereka meliputi:

  • Tagar dan komentar masif di berbagai platform untuk mendominasi ruang diskusi.
  • Pengulangan narasi hoaks hingga menciptakan ilusi kebenaran.
  • Serangan personal terhadap lawan politik agar reputasinya hancur sebelum argumennya didengar.

Hasilnya, publik terpengaruh, media massa ikut mengutip, dan opini publik terbentuk sesuai desain para buzzer.

Mengapa Pemerintah Lemah Menindak Buzzer?

Meski dampak buzzer sangat merugikan, penindakan pemerintah kerap terkesan setengah hati. Faktor utamanya adalah konflik kepentingan. Jaringan buzzer seringkali dipakai oleh elite politik yang berkuasa. Situasi ini membuat pemerintah berada dalam posisi sulit: menindak berarti merugikan diri sendiri.

Kelambanan ini berbahaya. Jika manipulasi digital terus dibiarkan, demokrasi bisa kehilangan kredibilitas dan suara rakyat makin terdistorsi oleh kepentingan politik sempit.

Dampak Buzzer bagi Demokrasi

Eksistensi buzzer adalah “invasi senyap” yang merusak jantung demokrasi. Dampak negatifnya antara lain:

  1. Erosi nalar publik: masyarakat kesulitan membedakan fakta dan hoaks.
  2. Matinya ruang diskusi sehat: media sosial berubah menjadi arena penuh polarisasi.
  3. Meningkatnya potensi perpecahan bangsa.

Kesimpulan: Membangun Imunitas Kolektif

Narasi buzzer adalah “penyakit digital” yang sulit diberantas, hasil dari kemajuan teknologi namun kemunduran etika politik. Ancaman ini nyata bagi demokrasi Indonesia.

Oleh karena itu, mahasiswa harus menjadi agen utama dalam membangun imunitas kolektif, dengan melatih literasi digital kritis di masyarakat. Elite politik wajib berkomitmen pada etika berkompetisi yang sehat. Dan yang terpenting, pemerintah harus berani menindak tegas jaringan buzzer tanpa pandang bulu.

Sebagai warga negara, kita tidak boleh membiarkan realitas kolektif diatur oleh algoritma dan aktor bayaran. Masa depan demokrasi hanya akan terwujud bila praktik kotor buzzer dihentikan, dan seluruh elemen bangsa bersama-sama menegakkan kebenaran faktual di ruang publik.

Penulis: Saskia Nur Agiska, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA