EKBIS | TD – Fenomena sosial yang dikenal sebagai Rojali atau rombongan jarang beli kini menjadi perhatian Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai salah satu tanda melemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Meskipun pusat perbelanjaan tampak ramai oleh pengunjung, aktivitas transaksi justru mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini dianggap sebagai sinyal yang tidak boleh diabaikan, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi pascapandemi.
Rojali: Ramai di Mal, Tapi Sepi Belanja
Istilah Rojali digunakan untuk menggambarkan situasi di mana masyarakat datang ke pusat perbelanjaan secara berkelompok, tetapi tidak melakukan pembelian dalam jumlah yang signifikan. BPS menilai fenomena ini mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat yang sedang menahan konsumsi akibat tekanan terhadap daya beli.
Fenomena ini tidak hanya terlihat pada kelompok ekonomi bawah, tetapi juga mulai muncul di kalangan kelompok menengah hingga atas. Banyak orang yang tetap beraktivitas di ruang publik, namun lebih berhati-hati dalam mengatur pengeluaran mereka.
Daya Beli Melemah di Tengah Penurunan Angka Kemiskinan
Berdasarkan data BPS pada September 2024, angka kemiskinan nasional telah menurun ke level terendah dalam sejarah, yaitu 8,47% atau setara dengan 23,85 juta jiwa. Namun, angka tersebut tidak serta-merta mencerminkan kondisi kesejahteraan secara keseluruhan.
Penurunan angka kemiskinan tidak otomatis menunjukkan perbaikan dalam konsumsi rumah tangga. Sebaliknya, fenomena Rojali menunjukkan bahwa masyarakat masih menghadapi tekanan ekonomi yang membuat perilaku konsumsi menjadi lebih tertahan, bahkan di kalangan kelompok yang tidak tergolong miskin.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Munculnya Fenomena Rojali
Beberapa faktor yang diduga berkontribusi terhadap munculnya fenomena ini antara lain:
1. Ketidakpastian Ekonomi
Kekhawatiran terhadap situasi ekonomi global dan domestik membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan pendapatannya.
2. Inflasi dan Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok
Meningkatnya biaya hidup menyebabkan sebagian besar pendapatan dialokasikan untuk kebutuhan dasar.
3. Perubahan Pola Konsumsi
Masyarakat mulai lebih selektif dalam membeli barang, memprioritaskan fungsi dan kebutuhan dibandingkan keinginan.
4. Kecenderungan Menabung
Ada dorongan untuk meningkatkan cadangan finansial sebagai bentuk antisipasi terhadap kondisi tak terduga di masa depan.
BPS Serukan Perhatian pada Stabilitas Konsumsi
Sebagai lembaga statistik nasional, BPS menekankan pentingnya menjaga stabilitas konsumsi rumah tangga. Mengingat konsumsi masyarakat merupakan salah satu kontributor utama terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan minat belanja dapat berdampak pada sektor ritel, produksi, hingga tenaga kerja.
Diperlukan strategi yang tidak hanya berfokus pada pengurangan angka kemiskinan, tetapi juga pada penguatan daya beli masyarakat secara menyeluruh. Upaya tersebut bisa mencakup pengendalian inflasi, pemberian insentif konsumsi, serta peningkatan kepastian lapangan kerja.
Penutup
Fenomena Rojali bukan sekadar istilah kreatif untuk menggambarkan perilaku belanja masyarakat, tetapi juga menjadi indikator penting yang mencerminkan dinamika ekonomi nasional. Ramainya pusat perbelanjaan tidak selalu berarti aktivitas ekonomi berjalan dengan optimal. Ketika konsumsi tertahan, ekonomi pun ikut melambat. Oleh karena itu, perhatian serius terhadap daya beli masyarakat menjadi langkah strategis dalam menjaga keberlanjutan pemulihan ekonomi Indonesia. (*)