OPINI | TD – Bonus demografi yang terjadi di Indonesia bagai buah simalakama. Satu sisi sebagai kesempatan meraih lompatan kemajuan bagi bangsa ini. Sisi lain menjadi bukan apa-apa, biasa saja bahkan status quo jalan di tempat. Jika saja pemerintah menangkapnya sebagai peluang, maka darinya Indonesia mendapatkan berbagai benefit. Melimpahnya angkatan kerja, terpacunya produktivitas, pertumbuhan ekonomi yang beranjak naik. Sebaliknya, jika pemerintah Indonesia menerimanya sebagai tulah, maka yang terjadi adalah musibah yang bertumpah ruah. Kriminalitas, kelaparan, stunting dan problematika kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.
Anggapan bonus demografi sebagai musibah dapat juga kentara dari meningkatnya angka pengangguran warga masyarakatnya. Bukan saja angka pengangguran yang tidak terdidik, namun juga mereka yang terbilang para sarjana. Seusai menyelesaikan jalan panjang proses perkuliahan dengan status sebagai mahasiswa, sesaat setelah diwisuda mereka umumnya berstatus menjadi pencari kerja.
Idealnya seorang alumni perguruan tinggi setelah menyandang gelar baik sarjana maupun diploma menggunakan ijazah yang didapatkannya untuk mengakses dunia kerja. Melamar pekerjaan sesuai bidang studinya bahkan bisa jadi berbeda dari bidang studinya sekalipun menjadi sebuah konsekuensi logis saat ini. Hal itu dilakukan sebagai tuntutan perhitungan akreditasi perguruan tinggi di satu sisi dan juga pencapaian diri pribadi di sisi lainnya.
Perguruan tinggi dianggap layak mendapatkan nilai optimal saat alumninya terdata bekerja, melanjutkan studi atau bahkan berwirausaha setelah menamatkan kuliahnya. Bekerja yang berarti segera setelah wisuda masuk dalam golongan produktif yang dapat membangun kemandirian dari apa yang dihasilkannya. Melanjutkan studi berarti meningkatkan kapasitas diri ke jenjang yang lebih tinggi baik melalui jalur pembiayaan beasiswa maupun sendiri. Berwirausaha berarti membuka usaha yang memungkinkan terbukanya lowongan pekerjaan bagi orang lain.
Di sisi lain, seorang sarjana menanggung konsekuensi diri dengan gelar yang mengikuti di belakang namanya. Secara sosial, kedudukan orang yang mempunyai gelar kesarjanaan adalah lebih tinggi dari yang tidak mempunyai gelar. Meskipun demikian, terjadi hari ini seseorang yang tanpa gelarpun dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja. Apalagi mereka yang memiliki titel akademik, mestinya lebih dapat berbuat banyak dalam bidang pekerjaan apapun.
Suatu yang dilematis memang, tumbuhnya angkatan kerja di Indonesia belakangan ini tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan kerja yang ada. Rakyatpun seolah diberi harapan palsu saat mengingat janji kampanye pasangan Capres dan Cawapres tempo hari yang ramai di televisi. Dikatakan olehnya saat itu, bahwa jika nantinya terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia akan membuka 19 juta lapangan pekerjaan. Janji tinggallah janji, hingga kini, hampir setahun menjabatpun belum terlihat realisasi dari janji menyediakan 19 juta lapangan pekerjaan tersebut.
Adapun yang terjadi kini malah seorang Menteri, Abdul Kadir Karding, menyatakan bahwa bagi para sarjana Indonesia mestinya mencari kerja di luar negeri saja. Ironis memang, pemangku kepentingan malah berbicara hal yang di luar nalar kapasitasnya sebagai pembantu Presiden. Sebagai bawahan Presiden, seorang Menteri mestinya mendukung janji kampanye yang telah disuarakan oleh pimpinannya tempo hari. Bukan malah berbeda pendapat dari haluan kebijakan Presiden dan Wakil Presiden serta belakangan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Masih hangat di ingatan publik segolongan masyarakat Indonesia yang melambungkan tanda pagar #KaburAjaDulu. Tanda pagar tersebut ramai di berbagai platform media sosial dalam bentuk beragam konten dengan narasi bekerja di luar negeri. Mereka yang berpartisipasi dalam wacana tersebut mengklaim menjadi PMI (Pekerja Migran Indonesia) adalah solusi. Terbatasnya ketersediaan lowongan pekerjaan di dalam negeri menjadi sebab mereka memilih pergi bekerja di luar negeri sebagai PMI.
Menjadi PMI pun harus dengan kejelasan serta kepastian bahwa pekerjaan yang diakses sedari hulu hingga hilirnya memiliki legalitas. Baik legalitas yang jelas dari perusahaan dalam negeri yang mengirimnya maupun dari perusahaan luar negeri yang menjadi tempat tujuannya. Hal tersebut dilakukan sebagai perlindungan dini bagi para calon PMI dari berbagai kemungkinan menjadi target modus kejahatan dengan dalih lowongan pekerjaan.
Hanya saat seperti diketahui bersama, saat tanda pagar itu ramai dilambungkan, muncul pula upaya negasi dari pejabat pemerintahan. Ada saja pihak dari lembaga negara yang memberikan pernyataan terkait tanda pagar #KaburAjaDulu tersebut. Misalnya apa yang dikatakan oleh Nusron Wahid (Menteri Agraria) bahwa memilih bekerja ke luar negeri sebagai indikasi kurang cintanya seorang warga negara Indonesia pada tanah air sendiri.
Padahal sebagaimana diketahui bahwa Bank Indonesia (BI) mencatatkan bahwa penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia di tahun 2024 urutan kedua dihasilkan oleh para Pekerja Migran Indonesia. Deputi Gubernur BI (Juda Agung) menyatakan dalam beberapa media bahwa PMI berkontribusi sebesar Rp 231 triliun bagi Indonesia. Jumlah tersebut dikatakan BI adalah 10% dari total cadangan devisa negara. Jumlah yang begitu signifikan setelah pemasukan yang dihasilkan dari sektor migas.
Lalu apakah gerangan masalah yang terjadi dalam dunia kerja Indonesia selama ini. Bukankah slogan “Kerja, Kerja, Kerja” masih terdengar pernah nyaring disuarakan oleh bekas Presiden Indonesia, Joko Widodo misalnya. Bisa jadi slogan hanyalah tinggal slogan. Apalagi slogan itupun kini tidak lagi terdengar digaungkan oleh Presiden Indonesia terpilih yang baru, Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan. Bahkan hanya sekedar gimmick pulasan bibir untuk mengundang simpati rakyat saja pun tidak lagi dilanjutkan berbunyi.
Sebenarnya skema tripartit (pemerintah, pengusaha, pekerja) masih relevan direalisasikan sebagai solusi. Mereka sepakat duduk bersama mencari jalan keluar dari meningkatnya jumlah pencari kerja misalnya. Hanya saja selalu ada problematika yang menyertai. Bukan saja dari pemerintah dengan berbagai payung hukum peraturan perundang-undangan yang disoal misalnya. Ada juga dari para pengusaha penyedia lapangan kerja yang ada saja diberitakan problematis. Apalagi dari para pencari kerja yang dinamikanya malah kontra produktif dengan iklim investasi.
Tidak dipungkiri juga ada saja berita tentang terjadinya berbagai kasus yang membahas tentang pekerja dan dunia kerja. Modus dalam rekruitmen tenaga kerja yang menimbulkan korban dirugikan secara materiil misalnya. Ada pula kasus intervensi oknum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (ORMAS) yang aksinya dianggap meresahkan para pengusaha/perusahaan. Apalagi yang terjadi belakangan ini sindikat perdagangan manusia yang seolah menawarkan lowongan pekerjaan di luar negeri dengan iming-iming penghasilan yang fantastis. Masih banyak juga yang terjadi lainnya menjadi catatat hitam dunia kerja.
Sebagai ikhtiar solutif kiranya berbagai hal di atas makin hari makin diminimalisir terjadi lagi. Perlunya gagasan bersama oleh para pemangku kepentingan dunia kerja. Bukan saja pemerintah, pengusaha dan pencari kerja. Bisa juga oleh berbagai Lembaga Perguruan Tinggi yang nyatanya adalah sebagai penghasil para diploma dan sarjana dari berbagai program studinya. Jika selama ini Perguruan Tinggi dikenal dengan konsep Tri Dharma, bukan mustahil perlu terobosan baru jika Tri Dharma yang selama ini dilakukan mutlak berdampak positif signifikan bagi para lulusannya selepas wisuda.
Dengan kata lain, Institusi Perguruan Tinggi kini dituntut lebih memiliki tanggung jawab intelektual serta moral bagi para alumninya. Artinya, sebagai lembaga penghasil para sarjana, sudah saatnya Perguruan Tinggi juga diharapkan mampu membuka lapangan kerja bagi para lulusannya. Sedemikian sehingga lulusan yang dihasilkan Perguruan Tinggi tidak serta merta menambah angka pengangguran pada tiap kali selesai seremoni wisudanya. Apalagi menambah testimoni para alumni tentang kesenjangan sosial yang dihasilkan dengan bekerja yang tidak sesuai kualifikasi ijazah sarjananya.
Hal ini penting kiranya dilakukan sebagai indikator penguat bahwa sebuah Perguruan Tinggi layak menyandang label akreditasi Unggul bilamana dapat ikut serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi para alumninya. Sedemikian sehingga dunia pendidikan di Indonesia tidak mengalami kegagalan sistemik sebagaimana yang dikatakan oleh Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi dalam berbagai media. Selain daripada itu alumni perguruan tinggi pun niscaya dengan sendirinya menyatakan kebanggaan pada almamater tempatnya kuliah dalam menggapai titel sarjana saat dirinya memperoleh pekerjaan, bukan teronggok sebagai satu dari 1 juta sarjana yang menurut data BPS Februari 2025 masuk dalam kategori pengangguran.
Penulis: Muhammad Kamaluddin, Pusat Karir Universitas Muhammadiyah Cirebon. (*)