Tambang Nikel di Raja Ampat: Ketika Kontrak Sosial Dikhianati, Birokrasi Tersesat

waktu baca 4 minutes
Sabtu, 21 Jun 2025 22:31 0 Redaksi

OPINI | TD – Tambang nikel yang beroperasi di kawasan hutan lindung dan tanah adat baru-baru ini membayangi Raja Ampat, yang telah lama dianggap sebagai surga bagi kehidupan laut dunia. Izin pertambangan telah dicabut oleh pemerintah, tetapi dampaknya terhadap lingkungan, kepercayaan publik, dan tata kelola belum berakhir. Pembatalan izin tersebut menggambarkan gambaran suram birokrasi yang ditawan oleh kepentingan finansial.

Menurut laporan penyelidikan, sejumlah perusahaan tambang yang berbasis di Raja Ampat memiliki hubungan dekat dengan pemain elit nasional. Kenyataannya, prosedur perizinan, yang seharusnya ketat dan berlandaskan pada prinsip kehati-hatian, tampak longgar, melibatkan sedikit keterlibatan masyarakat, dan mengabaikan penelitian lingkungan. Keadaan ini menggambarkan disfungsi sistem administrasi negara dalam konteks gagasan patologi birokrasi: birokrasi, yang seharusnya logis dan melayani publik, malah menjadi sarana untuk melegitimasi kepentingan segelintir orang (Merton, 1957).

Selain itu, kasus penambangan nikel di Raja Ampat juga dapat dianalisis secara kritis melalui perspektif teori kontrak sosial, sebagaimana dikemukakan oleh pemikir klasik Jean-Jacques Rousseau. Dalam kerangka pemikiran Rousseau, negara dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama antarwarga untuk menyerahkan sebagian haknya kepada suatu otoritas yang berfungsi menjaga kepentingan umum, menjamin keadilan, serta melindungi hak-hak dasar setiap individu. Kontrak sosial ini pada dasarnya adalah fondasi legitimasi kekuasaan negara, negara memperoleh kewenangan karena dipercaya akan bertindak untuk kepentingan rakyat.

Namun, ketika negara justru tampil sebagai fasilitator atau bahkan pelindung kepentingan korporasi dalam praktik ekstraksi sumber daya alam yang eksploitatif dan merusak lingkungan serta mengabaikan suara masyarakat lokal, maka kontrak sosial tersebut tidak hanya dilanggar, tetapi menjadi cacat secara moral dan politis. Dalam konteks ini, negara bukan lagi representasi kehendak umum (volonté générale), melainkan berubah menjadi alat kepentingan kelompok tertentu yang memiliki akses pada kekuasaan dan sumber daya.

Lebih jauh, ketika proses perizinan tambang dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi publik yang bermakna, serta ketika warga yang terdampak langsung tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, maka keabsahan kekuasaan pemerintah mulai dipertanyakan secara etis maupun konstitusional. Ketimpangan relasi kuasa ini menunjukkan bahwa fungsi negara sebagai pelindung rakyat telah mengalami disorientasi, berubah menjadi entitas yang tunduk pada logika keuntungan ekonomi jangka pendek. Dalam kerangka teori kontrak sosial, hal ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat, yang seharusnya menjadi dasar keberadaan dan legitimasi kekuasaan negara.

Kasus ini tidak sekadar menyangkut konflik lingkungan atau maladministrasi birokrasi, tetapi juga menjadi refleksi krisis legitimasi politik dan sosial yang mengancam keberlanjutan kontrak sosial antara negara dan warganya. Ketika rakyat tidak lagi percaya bahwa negara berpihak pada mereka, maka kontrak itu, menurut Rousseau, telah retak, dan hak rakyat untuk mempertanyakan serta menuntut kembali kedaulatan atas ruang hidup mereka menjadi sah secara moral dan filosofis.

Apa yang terjadi di Raja Ampat bukan hanya pelanggaran terhadap lingkungan, tetapi juga pengingkaran terhadap amanat konstitusi dan prinsip keadilan sosial. Dalam hal ini, patologi birokrasi tampak nyata melalui prosedur perizinan yang tidak transparan, ketidakhadiran pengawasan institusional, dan lemahnya kontrol publik terhadap proses pengambilan keputusan. Ketika birokrasi gagal menjalankan perannya sebagai penjaga kepentingan rakyat, maka ia telah bertransformasi menjadi alat dominasi yang anti-demokratis.

Momentum pencabutan izin tambang harus dilihat bukan sebagai akhir, tetapi sebagai panggilan untuk membangun tata kelola sumber daya alam yang berpihak pada rakyat dan lingkungan. Reformasi birokrasi mutlak diperlukan, tidak hanya untuk menertibkan prosedur, tetapi juga untuk mengembalikan birokrasi pada fungsinya sebagai alat negara yang melayani, bukan melayani kepentingan kapital.

Sebagai negara hukum dan demokrasi, Indonesia dituntut untuk menguatkan akuntabilitas, memperkuat partisipasi masyarakat adat, serta memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan selaras dengan prinsip keadilan ekologis dan kontrak sosial yang telah disepakati bersama rakyat. Raja Ampat tidak boleh menjadi preseden dari pengkhianatan berulang. Ia harus menjadi titik balik menuju keberpihakan negara yang sejati.

Penulis: Nela Wahdatin, Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Referensi

Merton, R. K. (1957). Social Theory and Social Structure. Free Press.

Rousseau, J. J. (1762). The Social Contract. (Pengantar: konsep kontrak sosial dan legitimasi kekuasaan).

DetikNews. (2025). Kronologi Tambang Nikel di Raja Ampat Jadi Sorotan hingga Izin Dicabut. Diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-7956895/kronologi-tambang-nikel-di-raja-ampat-jadi-sorotan-hingga-izin-dicabut

Kompas. (2025). Profil Lengkap 4 Pemilik Tambang Nikel di Raja Ampat. Diakses dari: https://money.kompas.com/read/2025/06/07/064213926/profil-lengkap-4-pemilik-tambang-nikel-di-raja-ampat?page=all

Bisnis.com. (2025). Mencari Aktor Intelektual di Balik Aktivitas Tambang Nikel Raja Ampat. Diakses dari: https://kabar24.bisnis.com/read/20250617/16/1885581/mencari-aktor-intelektual-di-balik-aktivitas-tambang-nikel-raja-ampat

 

 

LAINNYA