OPINI | TD – Ketegangan yang semakin memanas dalam konflik Iran Israel kembali menguji ketahanan diplomasi global. Sementara berbagai negara terseret dalam dinamika keberpihakan, Indonesia mengambil langkah berani dan berprinsip. tetap memegang teguh politik luar negeri bebas aktif. Ini bukan hanya sikap politis, tetapi juga warisan sejarah, tanggung jawab moral, dan refleksi dari posisi Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi perdamaian dan keadilan internasional.
Konflik Iran Israel telah meningkat tajam sejak awal Juni 2025. Rentetan serangan udara, balasan rudal, dan pernyataan saling mengancam menjadikan situasi di Timur Tengah semakin tidak stabil. Namun di tengah kegentingan ini, Indonesia memilih untuk tidak larut dalam kubu-kubuan geopolitik.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, menyampaikan bahwa Indonesia akan tetap menyerukan penyelesaian damai dan tidak akan tergabung dalam blok militer atau pertahanan mana pun. “Indonesia akan terus mendorong diplomasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari konflik,” ujarnya.
Sikap tersebut ditegaskan kembali oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong, pada Senin, 16 Juni 2025. Dalam pertemuan itu, Presiden Prabowo mengatakan: “Kami menyatakan keprihatinan yang mendalam atas situasi di Gaza serta eskalasi konflik Israel–Iran. Kami menekankan pentingnya solusi damai, negosiasi, dan menyerukan gencatan senjata segera.”
Sikap ini mencerminkan posisi Indonesia yang konsisten sejak awal berdirinya Republik ini. Sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah salah satu pelopor Konferensi Asia Afrika 1955 yang melahirkan Dasasila Bandung, yang intinya menolak intervensi asing, mendukung kemerdekaan, dan menjunjung penyelesaian damai atas setiap konflik. Dari semangat ini pula lahirlah Gerakan Non-Blok, yang menjadi simbol perjuangan negara-negara berkembang untuk tidak terjebak dalam perang proksi antara kekuatan besar.
Kini, saat dunia kembali menyaksikan polarisasi yang sama antara blok-blok kepentingan, Indonesia menegaskan bahwa jalur netral bukanlah bentuk ketidakberdayaan, tetapi pilihan yang berani untuk berpihak pada perdamaian dan kemanusiaan.
Namun, tidak sedikit yang mempertanyakan relevansi sikap ini. Di era geopolitik modern yang makin transaksional, ada suara-suara yang menilai bahwa tidak memihak artinya pasif atau bahkan lepas tangan. Apakah Indonesia cukup hanya menjadi penonton?
Di sinilah saya merasa bahwa netralitas Indonesia seharusnya tidak hanya berhenti pada sikap tidak berpihak. Sebaliknya, Indonesia harus menjadi mediator aktif yang mampu menawarkan ruang dialog, diplomasi, bahkan rekonsiliasi antar pihak. Dengan posisi strategis dan reputasi diplomatik yang baik, Indonesia memiliki modal untuk memainkan peran itu.
Saya mendukung penuh sikap Indonesia yang tetap berada pada jalur damai dan tidak tergoda masuk ke dalam blok militer mana pun. Namun, saya juga percaya bahwa Indonesia bisa lebih dari sekadar menyerukan. Kita bisa bertindak.
Indonesia harus mulai memanfaatkan semua jalur multilateral baik di ASEAN, OKI, maupun PBB untuk menawarkan solusi diplomatik nyata. Misi kemanusiaan, fasilitasi dialog, atau bahkan peran sebagai tuan rumah perundingan damai bisa dijajaki.
Sikap tidak memihak tidak berarti pasif. Sebaliknya, itu bisa menjadi platform moral yang kuat untuk mendorong keadilan dan melindungi mereka yang tidak punya suara rakyat sipil yang menjadi korban utama dari perang. Sebagai warga negara, saya bangga Indonesia tetap memegang prinsip. Tapi lebih dari itu, saya berharap Indonesia juga menunjukkan inisiatif diplomatik yang konkret. Karena suara yang menyerukan perdamaian, di dunia yang penuh kekerasan, adalah suara yang paling berani.
Sikap Indonesia terhadap konflik Iran dan Israel mencerminkan keberlanjutan dari prinsip politik luar negeri bebas aktif, yang berakar pada sejarah dan dipertahankan hingga kini. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, suara netral dan menyerukan perdamaian adalah kekuatan yang semakin langka dan sangat dibutuhkan.
Kini saatnya Indonesia melangkah lebih jauh. Bukan hanya menjaga prinsip, tapi juga memimpin langkah diplomasi nyata. Sebab perdamaian tidak akan tercipta hanya dari sikap, tetapi dari tindakan nyata yang membawa pihak-pihak bertikai ke meja dialog. Indonesia bisa dan seharusnya menjadi cahaya di tengah kegelapan konflik. Dan dalam konflik sebesar ini, dunia menunggu suara-suara seperti Indonesia, tegas, netral, dan berpihak pada kemanusiaan.
Penulis: Difani Aulia Zulka, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Editor: Patricia