EKBIS | TD – Isu mengenai outsourcing di Indonesia kembali menjadi perhatian publik setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan yang memperketat regulasi terkait alih daya. Banyak pekerja dan serikat buruh mendesak penghapusan sistem ini. Sementara, sebagian pelaku usaha berpendapat bahwa outsourcing masih perlu untuk menjaga efisiensi operasional.
Konsep outsourcing, yang telah ada dalam dunia kerja Indonesia selama bertahun-tahun, umumnya terdapat pada pekerjaan pendukung seperti layanan kebersihan, keamanan, dan pengemudi. Namun, praktik ini kini meluas hingga mencakup pekerjaan inti, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai ketidakpastian kerja dan hak-hak pekerja. Sebelum menarik kesimpulan, mari kita analisis keuntungan dan kerugian jika outsourcing terhapuskan, beserta pandangan para ahli dan data yang relevan.
Menghilangkan outsourcing dapat memberikan kepastian status kerja bagi jutaan pekerja. Menurut data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sekitar 3,8 juta pekerja di Indonesia saat ini berstatus sebagai pekerja alih daya. Mereka sering kali menghadapi ketidakpastian kontrak dan hak-hak yang tidak terjamin. Said Iqbal, Presiden KSPI, menyatakan bahwa “Outsourcing sering digunakan untuk menekan upah dan menghilangkan kepastian kerja. Jika terhapus, pekerja akan lebih sejahtera dan loyal.”
Dengan status sebagai pekerja tetap, mereka akan mendapatkan hak-hak penuh, termasuk upah minimum sektoral, tunjangan hari raya (THR), jaminan kesehatan, dan jaminan pensiun. Sebuah studi dari Lembaga Demografi UI menunjukkan bahwa pekerja tetap cenderung lebih produktif 15–20% daripada pekerja outsourcing, berkat kepastian kerja dan perlindungan yang lebih baik.
Namun, penghapusan sistem ini juga memiliki dampak negatif. Banyak perusahaan bergantung pada outsourcing untuk efisiensi biaya dan fleksibilitas tenaga kerja. Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menunjukkan bahwa biaya operasional perusahaan dapat meningkat 20–25% jika semua pekerja outsourcing dipekerjakan secara langsung. Eddy Hussy, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan, menegaskan bahwa, “Outsourcing bukan hanya tentang penghematan, tetapi juga tentang spesialisasi. Untuk pekerjaan non-inti seperti keamanan dan kebersihan, perusahaan tidak efisien jika harus mengelola semuanya sendiri.”
Di sektor tertentu, seperti jasa keamanan dan kebersihan, penghapusan outsourcing dapat menyulitkan usaha kecil dan menengah (UKM) yang tidak mampu mengelola semua divisi secara mandiri. Jika beban biaya perusahaan meningkat, ada risiko pengurangan tenaga kerja atau relokasi usaha, yang dapat menyebabkan peningkatan angka pengangguran.
Perdebatan mengenai penghapusan outsourcing memang kompleks. Di satu sisi, ada harapan untuk perlindungan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi pekerja. Di sisi lain, perusahaan menghadapi tantangan dalam hal efisiensi dan daya saing. Solusi yang mungkin lebih realistis adalah memperketat regulasi: membatasi outsourcing hanya untuk pekerjaan non-inti, sambil memastikan perlindungan hak-hak pekerja yang jelas. Dengan cara ini, kebutuhan dunia usaha dapat terpenuhi, sekaligus melindungi kepentingan pekerja. Yang pasti, baik pekerja maupun pengusaha memerlukan kepastian hukum yang adil dan transparan di masa depan. (Nazwa/Pat)