TANGERANG | BD — Program unggulan yang diusung oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Andra Soni dan Ahmad Dimyati Natakusumah, menghadapi tantangan serius akibat indikasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banten tahun 2025 yang diperkirakan mencapai Rp2 triliun.
Direktur Lembaga Kajian Visi Nusantara, Subandi Musbah, mengungkapkan bahwa defisit ini disebabkan oleh ketidaksesuaian antara target pendapatan dan anggaran belanja. “Berdasarkan analisis data yang kami terima, APBD Banten tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp9,78 triliun sesuai Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Namun, angka ini meningkat menjadi Rp10,99 triliun dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUAPPAS), dan akhirnya membengkak menjadi Rp11,54 triliun dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) di Badan Anggaran DPRD Banten,” jelasnya pada Senin, 10 Maret 2025.
Subandi menyoroti adanya selisih signifikan sebesar Rp1,75 triliun antara Kebijakan Umum APBD, Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) dan Rencana APBD (R-APBD), yang menjadi pertanyaan di tengah upaya efisiensi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. “Angka Rp1,75 triliun ini perlu dikritisi untuk memahami alokasi tersebut, terutama mengingat adanya pemangkasan anggaran dari dana transfer pusat ke Pemerintah Provinsi Banten sebesar Rp70 miliar dan penurunan pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak kendaraan bermotor yang diperkirakan mencapai Rp1,27 triliun,” tambahnya.
Penurunan PAD Banten, menurutnya, disebabkan oleh Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900.1.13.1/6764/SJ yang mengatur keringanan dan/atau pengurangan pajak, sehingga pemerintah daerah tidak diperkenankan menaikkan tarif pajak yang dapat membebani masyarakat.
“Situasi ini seharusnya dapat diantisipasi. Target pendapatan perlu segera direvisi, terutama dengan potensi pengurangan yang mencapai Rp1,27 triliun. Di sisi lain, Pemprov dan DPRD Banten harus segera melakukan evaluasi terhadap anggaran belanja. Target yang tidak realistis dapat menyebabkan penggunaan sumber daya finansial menjadi tidak efisien bahkan mubazir,” tegasnya.
Lebih lanjut, Subandi menekankan bahwa Pemprov Banten juga harus menanggung beban program pemerintah pusat yang dibiayai oleh APBD, di luar program prioritas Gubernur, seperti sekolah gratis yang merupakan janji politik saat kampanye. “APBD Banten juga wajib membiayai program prioritas nasional, seperti Makan Bergizi Gratis, dukungan swasembada pangan, serta pencegahan stunting dan kemiskinan ekstrem sebagai bagian dari program Asta Cita Prabowo-Gibran. Ini tentu sangat membebani kondisi keuangan Pemprov Banten,” ungkapnya.
Meskipun perencanaan dan penganggaran merupakan bagian dari Monitoring Center for Prevention (MCP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kenyataannya hal ini tidak diindahkan oleh Pemerintah Daerah. Dia menilai bahwa postur APBD Banten 2025 tidak proporsional dengan kondisi saat ini. Pembengkakan anggaran sebesar Rp1,75 triliun dapat menjadi bencana besar bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Provinsi Banten, terutama jika penambahan alokasi anggaran tersebut terkesan dipaksakan dan tidak didukung dengan kemampuan pendanaan yang memadai.
“Jika postur APBD 2025 tidak dievaluasi secara menyeluruh dalam pembahasan perubahan, ini akan menciptakan wajah suram pemerintahan Banten di bawah kepemimpinan Andra Soni dan Ahmad Dimyati Natakusumah. Bukan hanya program prioritas Gubernur yang terancam, tetapi juga harapan masa depan masyarakat Banten,” tegasnya.
Subandi juga mencatat bahwa postur APBD Provinsi Banten belum mempertimbangkan penyesuaian target sesuai dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.1/640/SJ tanggal 11 Februari 2025, mengenai Penyesuaian Arah Kebijakan Pembangunan Daerah melalui Perubahan RKPD dan Perubahan APBD TA 2025.
Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat belanja daerah harus digunakan untuk mencapai target pembangunan yang bersifat prioritas baik di tingkat daerah maupun nasional. Kondisi Banten masih ‘jauh panggang dari api’ untuk mewujudkan visi misi Gubernur dan Wakil Gubernur.
“Lonjakan anggaran tersebut terjadi saat pembahasan di badan anggaran DPRD Banten. Seharusnya DPRD berperan sebagai pengawas, bukan malah ikut berperan sebagai pemain,” tutupnya. (*)