OPINI | TD — Organisasi Mahasiswa (Ormawa) merupakan jantung denyut kehidupan kampus, wadah bagi mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri dan berkontribusi. Di dalamnya, beragam karakter berinteraksi, berkolaborasi, dan saling mengasah. Namun, praktik demokrasi dalam pemilihan kepengurusan Ormawa, khususnya ketua umum, seringkali jauh dari ideal, bahkan cenderung mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.
Pemilihan ketua umum Ormawa, baik di tingkat fakultas maupun universitas, semestinya menjadi proses yang inklusif, di mana seluruh mahasiswa memiliki suara yang setara dalam menentukan pemimpin mereka. Realitanya, sistem yang ada kerap kali meminggirkan suara mayoritas mahasiswa.
Alih-alih mencerminkan aspirasi mahasiswa secara keseluruhan, pemilihan lebih sering didominasi oleh pengaruh organisasi ekstra kampus atau kelompok-kelompok tertentu yang memiliki jaringan luas.
Organisasi-organisasi ini, dengan koneksi dan pengaruhnya, seringkali menempatkan kader-kader mereka sebagai calon ketua, mengabaikan kualitas dan kapabilitas calon.
Akibatnya, mahasiswa yang tidak terafiliasi dengan organisasi besar merasa suara dan aspirasinya tersingkirkan.
Ketidakseimbangan akses demokrasi ini menciptakan ketidakadilan dan mengikis kepercayaan mahasiswa terhadap sistem pemilihan Ormawa. Alih-alih mencerminkan demokrasi yang sehat, sistem yang ada justru lebih mirip dengan sistem yang terkontrol dan oligarkis.
Pengaruh kuat organisasi ekstra kampus merupakan salah satu akar masalah utama. Organisasi-organisasi ini, seringkali didukung oleh jaringan alumni yang berpengaruh di kampus, menciptakan hegemoni yang menghambat partisipasi mahasiswa yang independen.
Mahasiswa yang tidak terafiliasi dengan organisasi tertentu menghadapi kesulitan untuk bersaing dan berkontribusi, menciptakan lingkungan yang tidak setara dan tidak adil.
Dominasi ini tidak hanya menghasilkan pemimpin yang kurang representatif, tetapi juga menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi posisi kepengurusan. Individu-individu berpotensi, namun tidak tergabung dalam organisasi besar, seringkali terpinggirkan, meskipun memiliki kemampuan dan komitmen yang setara atau bahkan lebih baik.
Dampak dari sistem pemilihan yang tidak demokratis sangat signifikan. Keanekaragaman suara mahasiswa terkikis, menghasilkan kepemimpinan yang kualitasnya diragukan. Kepemimpinan yang dihasilkan cenderung lebih bergantung pada jaringan dan dukungan organisasi besar ketimbang kompetensi dan kapabilitas individu.
Kepercayaan mahasiswa terhadap Ormawa pun merosot, mengakibatkan apatisme dan mengurangi partisipasi aktif dalam kegiatan kampus.
Hal ini pada akhirnya berdampak negatif terhadap kualitas pergerakan mahasiswa dan perkembangan kampus secara keseluruhan.
Untuk membenahi situasi ini, diperlukan perubahan sistemik dan kesadaran kolektif.
Transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan harus diutamakan. Kriteria pemilihan harus lebih menekankan pada kualitas individu, kepemimpinan, dan visi calon, bukan pada afiliasi organisasinya.
Kampus harus menjamin kesetaraan akses bagi semua mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan kampus dan proses pengambilan keputusan.
Penting juga untuk membangun mekanisme pengawasan yang efektif untuk mencegah manipulasi dan kecurangan dalam pemilihan.
Perubahan ini membutuhkan komitmen bersama dari seluruh stakeholder kampus, termasuk mahasiswa, dosen, dan pimpinan universitas.
Hanya dengan demokrasi yang berintegritas, kampus dapat menjadi tempat yang inklusif, adil, dan mendorong pertumbuhan mahasiswa secara optimal.
Penulis: Rizki Saputro, Mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. (*)