OPINI | TD — Kota Tangerang, dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduknya yang pesat, Kota menyimpan tantangan kompleks yang tak selalu tampak di permukaan. Salah satunya adalah isu HIV/AIDS, yang ternyata melampaui persoalan kesehatan semata. Para Pegiat Isu HIV di Kota Tangerang menyoroti hal ini, menekankan pentingnya melihat permasalahan tersebut dari perspektif sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.
“HIV/AIDS bukan hanya soal virus dan obat-obatan,” tegas Sarwitri, Program Manager Konsil LSM Indonesia saat mendampingi diskusi para pegiat Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang, Selasa, 3 Desember 2024.
“Ini soal stigma, diskriminasi, akses terhadap pendidikan, dan bahkan kemiskinan. Semua saling berkaitan dan membentuk lingkaran setan yang sulit diputus,” tegasnya.
Pendapat Sarwitri ini diperkuat oleh data yang menunjukkan bahwa sebagian besar pengidap HIV/AIDS di Kota Tangerang berasal dari kelompok rentan. Pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan kelompok populasi kunci lainnya menjadi kelompok yang paling terdampak. Akses mereka terhadap layanan kesehatan dan edukasi pencegahan seringkali terbatas, diperparah oleh stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi di masyarakat.
“Bayangkan, seorang Pekerja seks yang takut untuk memeriksakan kesehatannya karena takut dihakimi dan dilaporkan,” lanjut Aini Nasution, aktivis yang fokus pendampingan orang dengan HIV (ODHIV). “Stigma ini menghambat mereka untuk mendapatkan akses pengobatan yang tepat waktu, dan malah mempercepat penyebaran virus.”
Kurangnya edukasi kesehatan reproduksi yang komprehensif juga menjadi masalah krusial. Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah seringkali terbatas dan tidak memadai, membuat banyak anak muda kurang memahami cara melindungi diri dari infeksi HIV. Akibatnya, angka penularan di kalangan anak muda cenderung meningkat. Selain itu, akses terhadap kondom juga masih menjadi kendala, terutama di kalangan kelompok rentan yang kurang mampu.
Aspek ekonomi juga tak dapat diabaikan. Kemiskinan seringkali memaksa individu untuk mengambil risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap HIV/AIDS. Pekerja seks, misalnya, mungkin terpaksa bekerja di lingkungan yang tidak aman karena kebutuhan ekonomi. Begitu pula dengan pengguna narkoba suntik yang mungkin memilih untuk tidak menggunakan jarum suntik steril karena keterbatasan biaya.
“Kita perlu pendekatan holistik,” ujarnya lagi. “Tidak cukup hanya menyediakan pengobatan dan tes HIV. Kita juga harus menangani akar masalahnya, seperti kemiskinan, diskriminasi, dan kurangnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.”
Para aktivis di Kota Tangerang mengusulkan beberapa solusi untuk penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang, diantaranya mengaktifkan kembali fungsi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Tangerang, pembekalan dan penguatan Warga Peduli AIDS (WPA) dan sosialisasi kesehatan reproduksi di sekolah serta pondok pesantren.
Perjuangan para aktivis ini menunjukkan bahwa mengatasi isu HIV/AIDS di Kota Tangerang membutuhkan lebih dari sekadar upaya medis. Ini membutuhkan komitmen dari pemerintah, masyarakat, dan semua pihak terkait untuk menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan, sehingga masalah HIV/AIDS tidak lagi dilihat hanya sebagai masalah kesehatan, melainkan sebagai masalah kemanusiaan yang harus ditangani secara bersama-sama. Perubahan dimulai dari kesadaran, empati, dan aksi nyata. (*)