OPINI | TD — TikTok, raksasa media sosial berbasis video pendek, telah menjelma menjadi fenomena global yang tak terbantahkan. Angka unduhannya yang fantastis dan jangkauannya yang luas membuktikan daya pikatnya yang luar biasa. Namun, di balik popularitasnya yang gemilang tersimpan sisi gelap yang patut dikritisi, khususnya dari perspektif nilai-nilai Islam.
Bukan sekadar hiburan semata, TikTok telah menjadi arena pertarungan nilai, di mana konten positif dan negatif bercampur aduk, menciptakan paradoks yang perlu diurai secara mendalam.
Salah satu isu utama adalah maraknya tren-tren yang absurd dan tak bermakna. Fenomena mandi lumpur, pamer kekayaan, dan berbagai aksi yang merendahkan martabat manusia, khususnya perempuan, bukan lagi hal yang langka. Konten-konten ini, selain tidak memberikan manfaat, justru merusak moralitas dan norma sosial. Lebih jauh lagi, kemudahan akses terhadap konten dewasa dan pornografi di platform ini menjadi ancaman serius terhadap ketahanan moral generasi muda, membahayakan akhlak dan bahkan mengancam kesehatan mental mereka.
Argumentasi bahwa TikTok hanyalah platform, dan pengguna lah yang menentukan kontennya, merupakan pembenaran yang terlalu pragmatis. Platform memiliki tanggung jawab moral untuk mengatur dan menyaring konten yang beredar.
Algoritma yang dirancang untuk mengoptimalkan keterlibatan pengguna justru seringkali memunculkan konten-konten yang sensasional dan provokatif, tanpa mempedulikan dampak negatifnya. Ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus: algoritma mendorong konten negatif, dan konten negatif menarik lebih banyak pengguna, sehingga platform semakin dibanjiri konten yang tidak sehat.
Dari sudut pandang Islam, pamer kekayaan (riya’) yang marak di TikTok jelas bertentangan dengan ajaran agama. Surah Luqman ayat 18 dengan tegas melarang kesombongan dan pamer harta.
Lebih dari sekedar larangan, ayat ini menekankan pentingnya kerendahan hati dan kesederhanaan dalam hidup. Pamer kekayaan tidak hanya menunjukkan kurangnya syukur kepada Allah, tetapi juga dapat menimbulkan kecemburuan, persaingan yang tidak sehat, dan bahkan kerusakan sosial. Hal ini diperparah dengan normalisasi perilaku konsumtif yang ditampilkan secara luas di platform tersebut.
Lebih jauh, banyak konten di TikTok yang mengabaikan adab dan etika bermedia sosial. Kebebasan berekspresi bukan berarti kebebasan tanpa batas. Islam mengajarkan pentingnya menjaga akhlak dan adab dalam setiap tindakan, termasuk berinteraksi di dunia maya. Konten yang menghina, merendahkan, atau menyebarkan fitnah jelas-jelas melanggar ajaran agama dan dapat menimbulkan dampak negatif yang luas.
Oleh karena itu, perlu pendekatan holistik untuk mengatasi permasalahan ini:
Pertama, regulasi yang lebih ketat dari pemerintah dan platform itu sendiri diperlukan untuk membatasi penyebaran konten negatif.
Kedua, edukasi dan literasi digital yang intensif harus diberikan kepada masyarakat, khususnya generasi muda, untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menyaring dan mengelola informasi di dunia maya.
Ketiga, peran keluarga dan lembaga pendidikan sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai moral dan agama yang kuat, sehingga generasi muda mampu berinteraksi dengan media sosial secara bijak dan bertanggung jawab.
TikTok bukanlah sekadar aplikasi hiburan. Ia merupakan media yang memiliki potensi besar baik untuk kebaikan maupun keburukan. Dari perspektif Islam, kita perlu menyikapinya dengan kritis dan selektif, mengutamakan konten yang bermanfaat dan menjauhi konten yang merusak. Hanya dengan kesadaran dan tanggung jawab bersama, kita dapat meminimalkan dampak negatif TikTok dan memanfaatkannya sebagai alat untuk kebaikan.
Penulis: Anah Maimanah, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)