Sistem Pemerintahan Pada Masa Kolonial Belanda: Warisan Monopoli dan Ketidakadilan dalam Sejarah Indonesia

waktu baca 4 menit
Minggu, 24 Nov 2024 19:11 0 109 Redaksi

OPINI | TD — Sejarah adalah cermin bagi kita, membentuk identitas dan kesadaran kolektif suatu bangsa. Dan ketika kita membicarakan sejarah Indonesia, kita tak bisa lepas dari pengaruh kolonialisme yang mendalam, terutama dari kebijakan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang mengubah wajah Nusantara selama lebih dari dua abad. Melalui kebijakan yang berorientasi pada keuntungan semata, VOC tidak hanya memonopoli perdagangan rempah-rempah, tetapi juga memanfaatkan sumber daya alam dan mengesampingkan kesejahteraan rakyat. Ini adalah warisan pahit yang hingga kini masih terasa dampaknya.

Monopoli Perdagangan Rempah-rempah: Antara Keberuntungan dan Penderitaan

VOC, yang mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 1602, menjadikan rempah-rempah sebagai komoditas utama dalam perdagangan global. Cengkeh, pala, merica, dan vanila menjadi primadona di pasar Eropa, sehingga VOC berusaha menguasai jalur distribusi dan produksi rempah-rempah tersebut. Dari Maluku hingga Jawa, kontrol ketat diterapkan, dengan cara-cara kekerasan yang mengerikan. Pemberlakuan aturan bahwa hasil panen cengkeh hanya boleh dijual kepada VOC di Ambon, serta pembantaian penduduk asli di Banda, adalah contoh nyata bagaimana ambisi bisnis dapat berujung pada kekejaman.

Namun, di balik kekayaan yang mengalir ke kantong VOC, rakyat kecil harus membayar harga yang sangat mahal. Mereka dipaksa menanam rempah tertentu dan menyerahkan hasil panen mereka dengan harga yang sangat rendah. Di sinilah kita melihat ketidakadilan yang mendalam: keuntungan besar untuk VOC dan penderitaan bagi petani lokal. Monopoli ini bukan hanya soal kekuasaan ekonomi, tetapi juga sosial, menciptakan jurang yang lebar antara penjajah dan yang dijajah.

Sistem Tanam Paksa: Melanjutkan Eksploitasi

etika VOC resmi dibubarkan pada tahun 1800, kita mungkin berharap akan ada perubahan yang berarti. Namun, kenyataannya jauh dari harapan tersebut. Kebijakan Cultuurstelsel yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, meski tampak baru, sebenarnya adalah kelanjutan dari praktik eksploitasi yang telah ada sebelumnya. Dengan memaksa petani untuk menanam komoditas ekspor, seperti kopi dan gula, untuk mengisi kas Belanda yang krisis, sistem ini kembali memperlihatkan wajah kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan.

Tidak hanya menguras sumber daya alam, sistem ini juga meminggirkan kebutuhan pangan lokal masyarakat. Ketentuan yang membebani petani inilah yang menciptakan ketidakstabilan sosial yang parah, di mana para petani tidak hanya kehilangan tanah mereka, tetapi juga hak untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Politik Divide et Impera: Strategi Cerdik untuk Mempertahankan Kekuasaan

Lebih jauh, VOC menerapkan politik divide et impera atau adu domba untuk menguasai wilayah Nusantara. Dengan memanfaatkan konflik internal di antara kerajaan-kerajaan lokal, VOC berhasil melemahkan perlawanan. Pendekatan ini menunjukkan betapa cerdiknya strategi kolonial dalam mempertahankan dominasi mereka. Namun, di balik keberhasilan taktis tersebut tersembunyi penderitaan rakyat yang terjebak dalam perpecahan dan konflik yang diciptakan oleh penjajah.

Penggunaan Kekerasan: Mengikis Kemanusiaan

Kekerasan adalah bahasa yang digunakan VOC untuk mempertahankan kekuasaan. Dari pembangunan benteng-benteng pertahanan hingga penggunaan tentara bayaran, semua dilakukan untuk menjaga monopoli perdagangan. Ketika perlawanan muncul, VOC tidak segan-segan untuk menindak dengan cara yang brutal. Strategi ini bukan hanya menciptakan iklim ketakutan, tetapi juga merusak jalinan sosial di antara masyarakat lokal.

Kesimpulan: Membangun Kesadaran Sejarah untuk Masa Depan

Warisan kebijakan VOC tidak hanya tentang keuntungan ekonomi, tetapi juga tentang bagaimana bentuk penindasan dapat berakar dalam masyarakat. Meski VOC telah lama runtuh, dampaknya masih membekas hingga kini. Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh kolonialisme menciptakan ketimpangan yang terus berlanjut, dan itulah tantangan yang harus dihadapi oleh generasi penerus.

Sebagai bangsa yang merdeka, penting bagi kita untuk merenungkan sejarah ini. Kesadaran akan masa lalu akan membantu kita menghargai nilai kebebasan dan keadilan yang harus diperjuangkan. Dengan memahami dampak dari kebijakan-kebijakan kolonial, kita diharapkan dapat menciptakan masa depan yang lebih baik, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk hidup sejahtera, tanpa ada lagi eksploitasi atas nama keuntungan semata. Kita perlu memastikan bahwa sejarah tidak hanya menjadi pelajaran, tetapi juga motivasi untuk terus berjuang demi keadilan dan kesetaraan.

Penulis: Humayra Chantika Zaheer, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). (*)

LAINNYA