SOSOK | TD — Soeharto merupakan sosok kunci yang mengendalikan kekuasaan di Orde Baru. Sebelum era ini, Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan di bawah kepemimpinan Soekarno, yang pada akhirnya berujung pada runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru.
Runtuhnya Orde Lama dan Lahirnya Orde Baru
Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965, kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno mengalami penurunan drastis. Krisis ini menjadi peluang bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan melalui mandat yang dikenal dengan sebutan Supersemar. Namun, keabsahan Supersemar tetap menjadi perdebatan, dengan beberapa teori yang menyatakan bahwa itu merupakan strategi Soeharto untuk menggantikan Soekarno. Ketidakadaan dokumen asli Supersemar hingga saat ini menambah keraguan publik terhadap niat sebenarnya di balik mandat tersebut. Banyak pakar berpendapat bahwa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru lebih dipengaruhi oleh strategi politik ketimbang mandat yang sah, yang menunjukkan bahwa ambisi pribadi dan konflik kepentingan sering kali mempengaruhi dinamika kekuasaan di Indonesia.
Langkah Awal Soeharto
Pasca Supersemar, Soeharto segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melarang semua organisasi yang berhubungan dengan komunisme. Tindakan ini dianggap sebagai langkah untuk “mengamankan bangsa”, bertentangan dengan pendekatan Soekarno yang lebih toleran terhadap berbagai ideologi. Kebijakan ini menandai perubahan arah politik di bawah Soeharto, yang mempersempit ruang bagi pandangan yang berbeda. Akibatnya, Orde Baru berkembang menjadi rezim otoriter yang mengabaikan perbedaan pendapat.
Ekonomi di Masa Orde Baru
Soeharto fokus pada pemulihan ekonomi yang terpuruk, dengan menarik investasi asing dan menjalin kerja sama internasional. Kebijakan seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), Revolusi Hijau, dan pembangunan infrastruktur berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun, manfaatnya sering kali hanya dirasakan oleh segelintir elit di perkotaan. Meskipun pembangunan ekonomi tercapai, ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan tetap ada, mewariskan dampak negatif yang dirasakan hingga kini.
Sentralisasi Kekuasaan dan Pembatasan Kebebasan
Soeharto mengkonsolidasikan kekuasaan dengan membatasi oposisi dan menerapkan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang memberi militer peran dominan dalam kehidupan sosial-politik. Pemerintahan menjadi sangat tertutup, dengan pengawasan ketat terhadap media dan organisasi masyarakat. Strategi ini mencerminkan ketidakpercayaan Soeharto terhadap kemampuan rakyat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi yang sehat, lebih memilih stabilitas semu daripada keterbukaan.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi ciri khas rezim Orde Baru. Pemerintahan Soeharto memberikan kemudahan kepada pengusaha-pengusaha yang memiliki kedekatan dengan dirinya, termasuk anggota keluarganya. Proyek-proyek negara sering kali menguntungkan segelintir elit, yang menciptakan citra korupsi di era tersebut. Meluasnya praktik korupsi menunjukkan kegagalan Orde Baru dalam membangun pemerintahan yang transparan, di mana konflik kepentingan mengakibatkan ketidakadilan bagi masyarakat kecil.
Sisi Gelap dari Pertumbuhan Ekonomi
Meskipun pertumbuhan ekonomi tercapai, manfaatnya tidak dirasakan secara merata. Proyek pembangunan dan industrialisasi yang berpusat di Pulau Jawa meninggalkan daerah lain tertinggal. Banyak proyek besar yang terjerat dalam praktik korupsi, menghambat pembangunan berkelanjutan. Ketidakadilan dalam pembangunan ini semakin memperdalam ketimpangan sosial, mengindikasikan bahwa prioritas utama bukanlah kesejahteraan rakyat, tetapi keuntungan bagi segelintir orang dalam lingkaran kekuasaan.
Pemahaman yang mendalam tentang pemerintahan Orde Baru menjadi penting bagi generasi sekarang, terutama dalam konteks usaha Indonesia membangun sistem demokrasi yang lebih baik. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat tergelincir tanpa tata kelola pemerintahan yang baik dan pemerataan pembangunan yang adil. Dengan pelajaran dari masa lalu, kita diingatkan bahwa kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari laju pertumbuhan ekonomi, tetapi juga seberapa adil seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati kesejahteraan. Artikel ini hadir dengan urgensi untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya keseimbangan antara kemajuan dan keadilan sosial dalam setiap langkah pembangunan Indonesia ke depan.
Penulis: Muhamad Harya Danang Sutawijaya, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtaya, Banten (*)