Apa itu Greenflation yang Dipertanyakan Gibran, Serta Sebab dan Solusinya

waktu baca 3 minutes
Selasa, 23 Jan 2024 09:49 0 Patricia Pawestri

EKONOMI | TDGreenflation, atau kenaikan harga yang diakibatkan proses transisi menuju ekonomi ramah lingkungan atau netral karbon, menjadi istilah yang trending sejak debat cawapres pada 21 Januari 2024.

Gibran Rakabuming, cawapres menggunakan istilah tersebut untuk bertanya kepada Mahfud MD. Namun, sangat disayangkan, Mahfud MD, yang notabene mempunyai banyak pengalaman menjabat di pemerintahan ternyata kurang mengetahui mengenai apa yang disebut dengan greenflation.

Greenflation dapat timbul karena kebijakan pemerintah yang kurang tepat atau hati-hati dalam mengantisipasi kenaikan harga komoditas yang dapat mempengaruhi konsumsi publik. Kebijakan tersebut antara lain mengenai pajak karbon dan pembatasan produk-produk berpolutan yang dibarengi timbulnya permintaan bahan mentah maupun energi dalam jumlah banyak.

Beberapa contoh terjadinya greenflation adalah kenaikan harga lithium sebesar 400% sejak dibutuhkan sebagai bahan baku baterai mobil listrik pada 2021. Contoh lainnya adalah kenaikan harga alumunium sebesar 200% karena banyak dibutuhkan sebagai bahan panel surya dan pembangkit listrik tenaga angin pada kisaran tahun 2021-2022.

Greenpeace, dalam unggahan instagramnya pada 22 Januari 2024, mengatakan inflasi hijau atau greenflation pada tarif listrik akan terjadi bila biaya pembangkit listrik energi terbarukan masih lebih tinggi ketimbang biaya pembangkit listrik energi fosil (batubara). Hal ini dapat dipastikan selalu terjadi di awal transisi energi karena kebijakan pemerintah yang tidak antisipatif.

Salah satu gejolak penolakan masyarakat atas greenflation adalah The Yellow Vest Movement atau Demonstrasi Rompi Kuning yang terjadi di Perancis tahun 2018. Saat itu Presiden Marcos menetapkan kebijakan kenaikan BBM untuk mengembangkan energi hijau. Namun masyarakat yang keberatan kemudian turun memenuhi jalanan di Perancis untuk berdemo. Peristiwa yang berlangsung sebulan itu melibatkan 280.000 demonstran.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah terjadinya greenflation tidak boleh menjadi alasan untuk tidak melanjutkan transisi energi netral karbon. Diperlukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran, dibarengi kebijakan serta strategi mitigasi yang efektif agar transisi energi netral karbon dapat tercapai dengan cara yang adil, terjangkau untuk masyarakat, dan tetap berkelanjutan.

Untuk mengantisipasi gejolak akibat greenflation, ada dua hal yang dapat dijalankan sebagai kebijakan, yakni pemberian subsidi tarif listrik untuk kelompok rentan, dan pemberian insentif pajak bagi pengusaha dan pengguna energi ramah lingkungan.

Sedangkan pajak karbon, terutama untuk produksi batubara, sudah seharusnya dilakukan sesegera mungkin. Pajak karbon ini dapat dikumpulkan untuk membantu meredam inflasi, terutama yang terjadi di kalangan rentan.

Lalu, bagaimana jika tidak ada kebijakan antisipatif terhadap timbulnya greenflation?

Ada dua kemungkinan buruk yang akan terjadi bila pemerintah tidak mewaspadai greenflation dalam masa transisi menuju energi ramah lingkungan yang memang harus dijalankan.

Pertama, terjadinya kenaikan harga komoditas pangan akibat bencana iklim. Hal ini disebut climateflation.

Kedua, terjadinya fossilflation, yaitu kenaikan berbagai komoditas karena semakin mahalnya bahan bakar fosil. Diketahui, harga bahan fosil tidak pernah mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir. (Pat)

LAINNYA