SASTRA | TD – Dalam perkembangan sastra di Indonesia, kritik sastra dikenal sejak era HB Jassin, atau sekitar tahun 1950-an.
Kritik sastra berguna untuk melihat apakah sebuah karya sastra penting atau bernilai melalui proses penafsiran atau interpretasi, penguraian atau analisa, dan juga penilaian atau evaluasi.
Dalam kritik sastra yang berlaku di Indonesia, karya sastra dinilai bukan hanya karena struktur intrinsik atau bentuknya saja, tetapi juga isi.
Dua Aliran Kritik Sastra di Indonesia
Dalam perkembangan sastra di Indonesia, diketahui ada 2 aliran kritik sastra, yaitu:
1. Kritik Sastra Rawamangun
Hans Bague Jassin, atau HB Jassin, memperkenalkan penggunaan kritik sastra di Indonesia, terutama dengan mengangkat dan membedah karya-karya penyair Chairil Anwar.
Dalam kritik yang ia berikan, HB Jassin cenderung memberikan edukasi dan apresiasi terhadap karya yang ia bicarakan. Jassin juga cenderung menitikberatkan pada kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah dalam ilmu sastra.
Ia mengatakan bahwa karya sastra haruslah karya seni yang harus dianalisis dari karya itu sendiri. Pendekatan HB Jassin ini juga diikuti beberapa tokoh sastra lainnya, di antaranya M Saleh Saad, JU Nasution, MS Hutagalung, dan Boen S Oemarjati.
Kelompok kritik sastra dari HB Jassin dan kawan-kawannya ini disebut Aliran Rawamangun karena pusat kegiatan mereka berada di daerah Rawamangun di Jakarta.
2. Kritik Sastra Ganzheit
Pemahaman baru muncul dalam perkembangan kritik sastra di Indonesia sejak akhir 1960. Esai “Metode Ganzheit dalam Kritik Sastra” karangan Arief Budiman, yang dimuat dalam majalah Horison pada semester pertama 1968 mengukuhkan cara baru ini.
Kelompok sastrawan yang menyukai metode ini kemudian berdebat dengan aliran kritikus Rawamangun mengenai prinsip utama dalam pendekatan kritik sastra. Mereka menganjurkan agar karya sastra dinilai dengan pendekatan subjektif dan tanpa prasangka. Karya seni haruslah dihayati sebagai satu keutuhan.
Beberapa kritikus sastra yang termasuk dalam kelompok Ganzheit yaitu Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Muhammad, Jakobus Sumardjo, Taufiq Ismail, Putu Wijaya, dan Buya Hamka. (Pat)